Monday, November 19, 2012

Sejarah Karawang Pada Jaman Pajajaran

SEJARAH KARAWANG

Pada zaman Kerajaan Padjadjaran yang dipimpin oleh Sri Baduga Maha Raja, Karawang merupakan salah satukota dari Pajajaran yang merupakan kota Pelabuhan di tepi Sungai Citarum. Bupati Pertama adalah Adipati Kertabumi IV yang dikenal Singaperbangsa yang secara turun temurun menjabat Bupati Karawang, pernah menjadi sebagai bagian dari wilayah kekuasaan kerajaan Mataram dan pemerintah Hindia Belanda sampai datangnya kekuasaan Inggris. Pada masa Pemerintahan Inggris (tahun 1811-1816)
Kabupaten Karawang dihapuskan dan baru dihidupkan kembali sekitar tahun 1820 dan Bupati pertamanya R.A.A. Surianata. Sejarah kedudukan Ibu Kota Kabupaten Karawang adalah :

  1. Kabupaten Karawang dengan Ibu Kotanya di Karawang dari tahun 1653-1819 (166) tahun
  2. Kabupaten Karawang Ibukotanya di Wanayasa dari sekitar tahun 1820-1830 (10) tahun
  3. Kabupaten Karawang dengan Ibukotanya di Purwakarta dari tahun 1830-1449.Melalui keputusan Wali Negara Pasundan tanggal 29 Januari 1949 Nomor 12 Kabupaten Karawang dipecah menjadi 2
  4. yaitu Karawang Barat dengan Ibu Kota Karawang dan Karawang Timur menjadi Kabupaten Purwakarta dengan Ibu kota di Subang
  5. Dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa Barat tahun 1950. Karawang secara resmi dinyatakan sebagai Kabupaten yang berdiri sendiri dengan Ibukota di Karawang
Saat ini Kabupaten Karawang dibagi atas 3 Kewedanaan, 12 Kecamatan dan 112 Desa dan ditetapkan bahwa Kabupaten Karawang didirikan pada tahun 1633 Masehi. Sekarang Karawang telah terbagi menjadi 30 Kecamatan dan terdiri dari 309 Desa.

INILAH NAMA-NAMA BUPATI KARAWANG SEPANJANG SEJARAH

NO
TAHUN
NAMA
1
1633 – 1679
Kiayi Panembahan Singaperbangsa (R.A.Kertabumi IV)
2
1679 - 1720
Raden Anom Wirasuta (R.A.A Panatayuda I)
3
1721 – 1731
Raden Jayanegara (R.A.A. Panatayuda II)
4
1731 – 1752
Raden Singanegara (R.A.A.Panatayuda III)
5
1752 – 1786
R.M.Soleh (Dalem Balon/D.Serambi/R.A.A.Panatayuda IV
6
1786 – 1811
Dalem Suro (R.A.A.Singosari Panatayuda)
7
1811 – 1811
Raden Adipati Surialaga
8
1811 – 1820
Raden Adipati Sastradipura
9
1820 - 1827
Raden Adipati Surianata
10
1827 - 1830
Raden Dalem Santri / R.A. Suriawinata I
11
1830 – 1849
Raden Dalem Solawat (R.H.M.Syirod R.A.Suriawinata II)
12
1849 – 1854
Raden Sastranegara
13
1854 – 1863
Raden Tumanggung Aria Sastradiningrat I (Dejan Ajian)
14
1863 – 1886
Dalem Bintang R.Adikusumah (R.A.A. Sastradiningrat II)
15
1886 – 1911
Raden Suriakusumah (R.A.A.Sastradiningrat III)
16
1911 – 1925
Raden Adipati Gandanegara
17
1925 – 1942
Raden A.A.Sumamiharja
18
1945 – 1945
Raden Panduwinata
19
1945 – 1948
Raden Djuarsa
20
1948 – 1949
Raden Ateng Surya Satjakusumah
21
1949 – 1950
Raden Hasan Surya Satjakusumah
22
1950 – 1951
Raden H. Rubaya Suryanatamihardja
23
1951 – 1961
Raden Tohir Mangkudijoyo
24
1961 – 1971
Letkol Inf. Husni Hamid (Bupati Kdh)
25
1971 – 1976
Letkol Inf.Setia Syamsi (Bupati Kdh)
26
1976 – 1981
Kol.Inf.Tata Suwanta Hadisaputra (Bupati Kdh)
27
1981 – 1986
Kol.Cpl.H.Opon Supandji (Bupati Kdh)
28
1986 – 1996
Kol.Czi.H.Sumarmo Suradi (Bupati Kdh)
29
1996 – 1999
Kol.Inf.Drs.H.Dadang S.Muchtar (Bupati KDH)
30
1999 – 2000
RH.Daud Priatna, SH (Penjabat Bupati)
31
2000 – 2005
Letkol.Inf.Achmad Dadang
32
33 
34
2005 s.d.2010
2010 s.d. sekarang
2010-2015
Kol.Inf.Drs.H.Dadang S.Muchtar (Bupati)
Imam Somantri (Pejabat Bupati)
....

Masuknya Agama Islam Ke Kab. Karawang

PERKEMBANGAN MASUKNYA AGAMA ISLAM KE KABUPATEN KARAWANG
 
      Jalur perdagangan dan penyebaran dari pusat pemerintahan Islam di 
Damaskus dan Baghdad kenusantara dalam garis besarnya ada dua, yaitu : melalui
daratan Tiongkok ketimur tengah yang disebut "jalur sutra" dan melalui perlak
di Aceh terus berlayar melalui Lautan India ke Gujarat dan Teluk Persia.

Sejak tahun 671 M, Kerajaan Melayu Tua dan Sriwijaya telah mengorganisir
perdagangan rempah-rempah dan dengan menggunakan kapal dagang yang bertolak
dari pelabuhan Muara sabak, dekat sungai Batanghari. Route pertama yang
dipergunakan selama hampir seratus tahun adlah tetap yaitu Muara sabak, kapal
pengangkut rempah-rempah melalui Cina selatan dan berhenti dulu di Cempa.Dari
sini kapal berlabuh di Canton Tiongkok, kemudian barang dagangan ini diangkut
oleh rombongan para pedagang yang menggunakan unta, lewat jalan darat langsung
menuju Damaskus Syiria.

Pada tahun 715 M,Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dari Dinasti Umayah,
menemukan jalur perdagangan yang baru yang lebih menguntungan yaitu melalui
Teluk persia terus keGujarat India, ke Perlak di Aceh, kemudian,kemudian
langsung ke Kerajaan Sriwijaya. Untuk meningkatkan perdagangan dan penyebaran
agama Islam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz Tahun 718 M, mengirim misi diplomatik
ke Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Kalangga di Japara, sehingga perdagangan
semakin menguntungkan dan Kota Damaskus menjadi kota perdagangan di Dunia.
Namun tidak digunakan "jalur sutra" tentu sangat merugian Tiongkok, sehingga
sehingga Kaisar dari Dinasti Tang yang memerintah abad VII-IX melakukan
penyerangan terhadap kerajaan Sriwijaya dan Raja Sindrawarman yang telah
memeluk agama Islam tewas terbunuh .

Kerenggangan diplomatik dengan pihak Tiongkok dapat dipulihkan kembali
oleh Khalifah Harun Al Rasyid yang memerintah tahun 786-809 M, sehingga bukan
saja melancarkan hubungan dagang, akan tetapi juga dalam penyebaran Agama
Islam. Hal ini ditndai dengan bertambahnya Islam disumatra dan Malaka.seperti
kesultanan Daya Pasai, Bandar Kapilah, Muara Malaya, Aru Baruman, dan
kesultanan kuntu campa. Perdagangan yang melalui dua jalur tadi membawa
kestabilan dan pemerintahan Kesultanan Islam di Sumatra dan Malaka dan
penyebaran agama Islam antara Abad VII-XV makin meluas ke kota kota pelabuhan
di pulau Jawa. Pada Tahun 1409, Kaisar Cheng Tu dari Dinasti Ming memerintahkan
Laksamana Haji Sampo Bo untuk memimpin Armada Angkatan Lautnya dan mengerahkan
63 buah Kapal dengan prajurit yang berjumlah hampir 25 000 orang untuk menjalin
persahabatan dengan kesultanan yang beragama Islam. Dalam Armada Angkatan Laut
Tiongkok itu rupanya diikutsertakan Syeh Hasanuddin dari Campa untuk mengajar
Agama Islam dikesultanan Malaka, Sebab Syeh Hasanuddin adalah putra Ulama
besar Perguruan Islam di Campa yang bernama Syeh Yusuf Siddik yang masih ada
garis keturunan dengan Syeh Jamaluddin serta Syeh Jalaluddin Ulama besar Mekah.
Bahkan menurut sumber lain garis keturunannya sampai kepada Syaidina Husein bin
Syaidina Ali ra, menantu Rosulullah saw. Adapun pasukan angkatan laut Tiongkok
pimpinan Laksaman Sam Po Bo lainnya ditugaskan mengadakan hubungan persahabatan
dengan KI Gede Tapa Syah Bandar Muara Jati Cirebon serta sebagai wujud
kerjasama itu dibangunlah sebuah menara dipantai pelabuhan Muara Jati.

Kegiatan penyebaran Agama Islam oleh Syeh Hasanuddin rupanya sangat
mencemaskan penguasa Pajajran yang bernama Prabu Angga Larang, Sehingga
dimintanya agar penyebaran tersebut dihentikan. Oleh Syeh Hasanuddin perintah
itu dipatuhi. Kepada utusan yang datang kepadanya ia mengingatkan, bahwa
meskipun Dakhwah itu dilarang, namun kelak dari ketrunan Prabu Angga Larang ada
yang akan menjadi Walillulah. Beberapa saat kemudian Syeh Hasanuddin mohon
diri kepada Ki Gede Tapa sendiri, sangat prihatin atas peristiwa yang menimpa
Ulama Besar, Sebab Ia pun ingin menambah pengetahuannya tentang Agama Islam.
Oleh karena itu sewaktu Syeh Hasanuddin kembali ke Malaka, putrinya yang
bernama Nyi Subang Karancang dititipkan ikut bersama Ulama Besar ini untuk
belajar Agama Islam di Malaka.

Beberapa waktu kemudian Syeh Hasanuddin membulatkan tekadnya untuk
kembali kewilayah Kerajaan Hindu Pajajaran. Untuk keprluan tersebut, maka telah
disiapkan 2 perahu dagang yang memuat rombongan para santrinya termasuk Nyi
Subang Karancang. Setelah rombongan ini memasuki Laut Jawa, Kemudian memasuki
Muara Kali Citarum yang ramai dilayari oleh Perahu para pedagang yang memasuki
wilayah Pajajaran. Selesai menyusuri Kali Citarum ini akhirnya rombongan perahu
singgah di Pura Dalam atau Pelabuhan Karawang.Kedatangan rombongan Ulama Besar
ini disambut baik oleh petugas Pelabuhan Karawang dan di izinkan untuk
mendirikan Musholla yang digunakan juga untuk belajar mengaji dan tempat
tinggal. 
 
DI PELABUHAN KARAWANG 
 
        Nama Karawang berasal dari Bahasa Sunda KARAWA-AN, adalah Nama suatu 
kesatuan wilayah dan juga nama salah satu pelabuhan yang terletak ditepi kali
Citarum pada masa pemerintahan Kerajaan Pajajaran. Sebagai suatu Wilayah,
Karwang sudah memegang peranan penting pada masa Pemerintahan kerajaan
Tarumanegara yang berkuasa pada abad IV-VI M. Tim Arkelogi Nasional yang
melakukan penelitian sejak tahun 1952 sampai sekarang, banyak menemukan
peninggalan kerajaan Tarumanegara seperti bekas bangunan candi dan lain-lainnya
di sekitar Desa Seragan Batu Jaya dan Desa Cibuaya. demikian juga adanya nama
Patruman sebuah kampung di dekat Rengasdengklok, diduga bakas salah satu
pelabuhan Tarumanegara.

Pertama kali Citarum beberapa abad yang lalu merupakan satu-satunya
pilihan untuk jalur lalu lintas bagi kelancaran kegiatan perdagangan,
pemerintah dan lain-lain. Kerajaan Pajajaran sebagai penerus kerajaan
Tarumanegara yang memerintah pada abad VIII untuk kepentingan yang
sama.Disebutkan juga bahwa Karawang sebagai salah satu pelabuhan penting
kerajaan Pajajaran, seperti halnya pelabuhan Baten, Tanggerang, Sunda Kelapa
dan Bekasi. Dari Pelabuhan Karawang ramai diperdagangan barang dagangan ke
pelabuhan Sunda Kelapa, seperti madu, ikan kering dan hasil pertanian yang
banyak dibeli oleh para pedagang Portugis.

Selain sebagai pelabuhan Karawang juga menjadi tampat persimpangan
jalan darat dari Pakuan ibu kota krajaan Pajajaran ke Kawali (galuh). Kota yang
dilewati adalah Cibarusah, Warunggede, Tangjungpura, Karawang, Cikao,
Purwakarta, Sagalaherang, Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga,
bferakhir di Kawali.

Menurut Amir Sutaarga dalam bukunya "Prabu Siliwangi" halaman 58, jalan
darat tersebut merupakan "High-way" nya kerajaan Pajajaran di masa itu. Sebab
dengan adanya jalur jalan darat, dan kota-kota pelabuhan seperti Bnaten,
Tanggerang, Sunda Kelapa, Bekasi, Karawang, maka seluruh wilayah Pajajaran
terkontrol secara baik.

Pentingnya peranan pelabuhan Karawang, bukan saja pada masa
pemerintahan Pajajaran dari abad VIII sampai abad XVI M, yakni hampir 800
tahun, akan tetapi sampai juga masa pemerintahan Sulatan Agung Mataram yang
telah mengangkat Bupati Karawang pertama Adipati Singaperbangsa dan Aria
Wirasaba. Bahkan sampai berakhirnya masa pemerintahan kolonial Belanda dan
Jepang. Pelabuhan Karawang memiliki 2 tempat penghentian.Untuk perahun yang
datang dari arah Patarumanatau Laut Jawa berlabuh di Kampung Teluk Bunut.
Sedangkan untuk perahu yang datang dari arah Cikao, berlabuh di kampung
Nagasari Jebug. Perahun para pedagang ini tidak mau menelusuri Kali Citarum
yang melingkari kampung Poponcol. Selain jaraknya cukup jauh yaitu hampir 5 Km,
juga pada masa itu airnya deras dan banyak batu cadas. Sedangkan jika berhenti
di pelabuhan Kampung Teluk Bunut dan Nagasari, anatara kedua tempat berlabuh
itu jfaraknya cukup dekat dan hanya memerlukan jalan penghubung sepanjang
kira-kira 400 meter.

Dengan adanya 2 pelabuhan tersebut maka akan timbul kegiatan muat
bongkar, terjadinya jual beli sehingga dibutuhkan adanya pasar. Warung makanan
minuman, tempat menginap bagi yang kemalaman. Sedangkan bagi petugas perwakilan
pemerintah Pajajaran ada kegiatan memelihara keamanan dan ketertiban,
pengawasan lalu lintas barang dan orang bepergian dan sebagainya.

Ke Pelabuhan Karawang dengan kesibukan seperti dijelaskan itulah,
rombongan Syeh Quro dengan 2 perahunya itu singgah yang menurut Buku Rintisan
Sejarah Masa Silam Jawa Barat terbitan tahun 1983-1984 disebut Pura Dalem.
Mungkin yang dimaksud ialah kota (pura) dimana ada kegiatan petugas pemerintah
di bawah kewenangan jabatan Dalem. Yang tidak lain ialah pelabuhan Karawang.
Rombongan Ulama Besar ini lazimnya sangat menjunjung peraturan kota pelabuhan
yang dikunjungi, sehingga aparat setempat sangat menghormatinya dan memberi
izin untuk mendirikan musholla yang digunakan tempat untuk mengaji atau
peasntren dan sekaligus sebagai tempat tinggal. Lokasi yang dipilih untuk
keperluan itu tentu tidak begitu berjauhan dengan kegiatan pelabuhan. Setelah
beberapa waktu berada dipelabuhan Karawang, Syeh Quro menyampaikan Da'wahnya di
Musholla yang dibangunnya penuh keramahan. Uraiannya tentang Agama Islam mudah
dipahami, dan mudah pula untuk diamalkan, Karena Ia bersama santrinya langsung
memberi contoh. Pengajian Al Qur'an memberikan daya tarik tersendiri, karena
Ulama Besar ini memang seorang Qori yang merdu suaranya. Oleh karena itu setiap
hari banyak penduduk setempat yang secara sukarela menyatkan masuk Islam.

Berita tentang dakwah Syeh Quro di pelabuhan Karawang rupanya telah
terdengar Prabu Angga Larang yang pernah melarang Syeh Quro melakukan kegiatan
yang sama tatkala mengunjungi pelabuhan Muara Jati Cirebon, seperti sudah
disinggunkan pada bab II terdahulu. Sehingga ia segera mengirim utusan yang
dipimpin oleh putera mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk menutup
Pesantren Syeh Quro. Namun ta'kala putera mahkot ini tiba ditempat tujuan,
rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu pembaca ayat-ayat suci Al
Qur'an yang dikumandangkan oleh Nyi Subang Karancang. Putar Mahkota yang
setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Prabu Siliwangi, itu
mengurungkan niatnya untuk menutup pesantren Quro, dan tanpa ragu-ragu
menyatakan isi hatinya untuk memperistri Nyi Subang Karancang yang cantik itu.
Lamaran tersebut rupanya diterima oleh Nyi santri dengan syarat maskawinnya
harus "Bintang Saketi" yaitu simbol dari "tasbeh" yang berada di Negeri Mekah.
Sumber lain menyatakan bahwa, hal itu merupakan kiasan bahwa sang Prabu harus
masuk Islam, dan patuh dalam melaksanakan syariat Isalam. Selain itu, Nyi
santri juga mengajukan syarat, agar anak-anak yang akan dilahirkan kelak harus
ada yang menjadi Raja. Semua hal tesebut rupanya disanggupi oleh Raden Pamanah
Rasa, sehingga beberapa waktu ke mudian pernikahan pun dilaksanakan, bertempat
di Pesantren Quro atau Mesjid Agung sekarang dan Syeh Quro bertindak sebagai
penghulunya.

Perkawinan di musholla yang senantiasa mengAnggungkan asma Allah SWT
itu memang telah membawa hikmah yang besar. Para putera puteri yang dikandung
oleh Nyi Subang Karancang yang muslimah itu, memancarkan sinar IMAN dan ISLAM
bagi umat di sekitarnya. Nyi Subang Karancang sebagi isteri seorang Raja memang
harus berada di Istana Pakuan Pajajaran, dengan tetap memancarkan Cahaya
Islam. Putera pertama yang laki-laki bernama Raden Walangsungsang setelah
melewati usia remaja, maka bersama adiknya yang bernama Raden Rara Santang,
meninggalkan Istana Pakuan Pajajaran kemudian mendapat bimbingan dari Ulama
Besar yang bernama Syeh Dzatul Kahfi di Paguron Islam di Cirebon. Setelah kakak
beradik ini menunaikan ibadah Haji, maka Raden Walangsungsang menjadi Pangeran
Cakrabuana memimpin pemerintahan Nagari Caruban Larang, Cirebon. Sedangkan
Raden Rara Santang waktu di Mekah diperistri oleh Sulatan Mesir yang bernama
Syarif Abdillah. Adik Raden Walangsungsang yang bungsu adalah laki-laki bernama
Raden Kian Santang, pada masa dewasanya menjadi Munaligh untuk menyebarkan
Agama Islam di daerah Garut.

Adapun Raden Nyi Mas Rara Santang setelah kawin dengan Syarif Abdillah,
namanya diganti menjadi Syarifah Muda'im. Dari perkawinan ini mereka dikarunai
dua orang putera masing-masing bernama Syarif Hidayatullah, dan Syarif
Nurullah. Setelah ayahnya meninggal dunia jabatan sultan diserahkan kepada
Syarif Nurullah, sebab Syarif Hidayatullah setelah menimba ilmu Agama yang luas
dari para Ulama Mekah dan Bagdad, ia bertekad untuk menjadi Mubaligh di
Cirebion. Demikianlah tahun 1475 ia bersama ibunya berlayar ke Cirebon dan
kedatangnya disambut dengan penuh kebahagiaan oleh Pangeran Cakrabuana atau
Cakraningrat. Setelah usia Pangeran Cakraningrat cukup tua, Syarif Hidayatullah
dipercaya untuk menggantikan kedudukannya dengan gelar Susuhunan atau Sunan.
Pengangkatan Syarif Hidayatullah tersebut mendapat dukungan terutama dari Raden
Fatah, Pemimpin Pesantren dan Sunan Bintoro, putera Raja Majapahit Brawijaya V,
yang diangkat menjadi Sulatan Kerajaan Islam Demak I. Dalam rangka pembangunan

Mesjid Agung Demak, Sunan Cirebon diundang untuk menetapkan kebijaksanaan
tentang penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa. Sidang para Sunan yang dikenal
Wali Songo itu juga menetapkan bahwa Syarif Hidayatullah diangkat menjadi ketua
atau pimpinan dari Wali Songo, dengan gelar Sunan Gunung Jati. Dengan demikian
apa yang dikatakan oleh Syeh Quro, bahwa kelak dari keturunan Raja Pajajaran
ada yang menjadi Waliyullah, dan permohonan Nyi Subang Karancang perkawinannya
dengan Prabu Siliwangi ada yang menjadi Raja, telah menjadi kenyataan. Sejarah
juga mencatat, bahwa dengan berkembangnya kerajaan Islam yang mendapat dukungan
dari Wali Songo, maka pengaruh kerajaan Majapahit dan Pajajaran semakin
memudar. Bahkan pada tahun 1579 M, kerajaan Pajajaran lumpuh sama sekali akibat
dikalahkan oleh Syeh Yusuf itu adalah Putera Sultan Hasanuddin atau cucu Sunan
Gunung Jati, yang tidak lain masih keturunan Nyi Subang Karancang dari
perkawinannya dengan Prabu Siliwangi yang diselenggarakan di Mesjid Agung
Karawang.

Adapun kegiatan pesantren Quro yang lokasinya tidak jauh dari
pelabuahan Karawang, rupanya kurang berkembangnya karena tidak mendapat
dukungan dari pemerintah kerajaan Pajajaran. Hal tersebut rupanya dimaklumi
oleh Syeh Quro, sehingga pengajian di pesantren agak dikurangi, dan kegiatan di
Masjid lebih dititik beratkan pada ibadah seperti sholat berjamaah. Kemudian
para santri yang telah berpengalaman disebarkan kepedesaan untuk mengajarkan
Agama Islam, terutama daerah Karawang bagian Selatan seperti Pangkalan.
Demikian juga kepedesaan dibagian Utara Karawang yang berpusat di Desa Pulo
Kalapa dan sekitarnya. Banyak hal yang menarik dalam cara penyebarannya Agama
Islam oleh Syeh Quro antara lain :

1. Sebelum menyampaikan ajaran Islam dibangunnya terlebih dahulu sebuah Masjid,
seperti halnya yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Rosulullah SAW, sewaktu
melakukan Hijrah dari Mekah ke Madinah, maka beliau terlebih dahulu membangun
Masjid Quba.

2. Dalam menyampaikan ajaran Islam ditempuhnya melalui pendekatan yang disebut
Dakwah Bil Hikmah, sebagaimana Firman Allah dalam Al Qur'an surat XVI An Nahl
ayat 125, yang artinya : "Serulah kejalan tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan)
dan dengan pelajaran yang baik, dan bertukar fikiranlah dengan mereka dengan
cara yang terbaik".

3. Sebelum memulai Dakwahnya, telah disiapkan para kader penyebaran Agama Islam
(Mubaligh-Mubalighoh) yang mampu berhubungan dengan masyarakat, termasuk Nyi
Subang Karancang. Syeh Quro sangat memperhatikan situasi kondisi masyarakat dan
sangat menghormati adat istiadat penduduk yang didatanginya.

4. Para Ulama dan tokoh masyarakat kebanyakan berpendapat bahwa tempat
pengabdian Syeh Quro sampai akhir masanya, ialah di Desa Pulo Kalapa Kecamatan
Lemah Abang.

5. Pengabdian Syeh Quro demgam para santri dan para Ulama generasi penerusnya
adalah " menyalakan pelita Islam", sehingga sinarnya memancarkan terus di
Karawang dan sekitarnya.

Dalam semaraknya penyebaran Agama Islam oleh Wali Songo, maka masjid
yang dibangun oleh Syeh Quro, kemudian disempurnakan oleh para Ulama dan Umat
Islam yang modelnya berbentuk "joglo" beratap 2 limasan, hampir menyerupai
Masjid Agung Demak dan Cirebon.

Makam KH. R.M.Joesoef Purwakarta

MAKAM KH. R.M.JOESOEF ASET DAERAH PURWAKARTA


R.H.M. JOESOEF , Mungkin dikalangan para Arifbillah namanya sudah tak asing lagi, namun PELITA menyayangkan Generasi muda di kota santri Purwakarta hanya sedikit yang mengetahui siapa Beliau……!!!!,

Hasil penelusuran PELITA di kota Purwakarta selama sepekan, di Makam seorang Syech yang terkenal DI Jamannya dengan sebutan BAENG YOESOEF ini, mempunyai kesan tersendiri… tidak mengurangi rasa takjim, hormat serta tidak sedikitpun merasa paling tahu, PELITA mencoba menguak siapakah, tokoh/Aulia yang satu ini? Konon beliau-lah yang menjadi Mursyid dari seorang Ulama terkenal Dunia yaitu SYECH NAWAWI AL-BANTANI itu………….

H.SANUSI, S.Ag (pengurus makam syech R.H.M. YOESOEF)
Letal makamnya berhadapan dengan PEMDA kabupaten Purwakarta, di alun-alun Kian Santang, banyak pejiarah dari berbagai daerah di Indonesia yang datang ke makam ini, sengaja PELITA menemui salah seorang dari empat orang Pengurus Makam Sang WaliAllah, yaitu : H. Sanusi, S.Ag (pensiunan DEPAG Kab. Purwakarta) yang juga masih keturunan ke 6 dari Baeng Yusuf.
Adapaun ke empat pengurus Makam Baeng Yusuf yaitu. H.Sanusi, S.Ag, R. Udin Samsudin, Iing Samsudin, Mumus Mustofa kamal dan Nana Sutisna, yang kesemuanya masih keturunan dari R.H.M.Yoesoef. kepengurusan diatur berdasarkan Trah/turunannya, namun pengabdiannya belum mendapat respon positif dari Pemerintahan daerah Purwakarta (dari hal Pendapatan/gaji).

R.H.M.JOESOEF merupakan penyebar Islam di wilayah kabupaten Purwakarta, beliau di lahirkan di Bogor pada tahun 1709 M, merupakan keturunan langsung dari keraton Padjajaran. Waktu kecil beliau sudah menunjukan kelebihan. Usia 7 Tahun sudah menguasai bahasa Arab usia 12 tahun hafal Al-Qur’an usia 13 tahun beliau pergi ke jazirah arab yaitu di kota Makkah untuk belajat Islam secara menyeluruh, Beliau menetap di mekah selama 11 tahun.
Beliau adalah putra dari Kanjeng R. Aria Djayanegara yang pada waktu itu menjabat Bupati bogor dan Bupati Karawang, pada abad ke 17, serta di makamkan di Karawang (di Desa Manggungjaya Kec. Cilamaya Kulon),

Beliau pernah di Mandagaskar bersama-sama pelaut Nusantara, selain beliau melaksanakan ibadah Haji (Arabia) sepulang dari pengembaraannya beliau mengamalkan ilmu Agama Islam yang beliau dapatkan ke dalam tulisan berupa buku, yang diantaranya FIQIH SUNDA, TASYAUF SUNDA dan TAFSIR SUNDA. Guru beliau yang termasyhur terutama di bidang Politik yaitu Syech Cempaka Putih (Pangeran Diponogoro) sedang diantara muridnya yang terkenal adalah Syech Nawawi Al-Bantani yang meninggal di makkah serta di makamkan di MA’LA. Buku karangannya masih tersimpan rapih di salah satu Universitas Negara Amerika.

R.H.M.Yoesoef atau BAENG YUSUF menetap di Purwakarta yang sekarang di sebur Kaum bersamaan di bukanya PURWAKARTA oleh Dalem Solawat Bupati Karawang. Rumah beliau adalah yang sekarang menjadi Mihrob Masjid Agung, sedangkan Pesantran atau tempat mengaji para santri bangunannya terletak di belakang Masjid Agung. Dan beliau wafat pada tahun 1854 M menurut keterangan dari kitab Tasyauf dan Fiqih sunda dan Makamnya di dalam bangunan tersebut.

SILSILAH KETURUNAN

Aria Wangsa Goparona (Sagala herang, Subang)
Dalem Cikundul/Aria Wiratanudatar (R.Jayalalana)
R.Aria Wira Manggala (Tarik kolot)
R.Aria Astra Manggala (Ciconde)
Dalem Sabirudin
Dalem Muhidin
R.Aria Djayanagara
R.H.M/Joesoef.

Wisata Sejarah Di Karawang

WISATA SEJARAH DI KARAWANG


CURUG CIGENTIS

Curug Cigentis merupakan Sarana Wisata Unggulan Kabupaten Karawang, Curug ini berada dibawah kaki Gunung Sanggabuana, Panorama sepanjang jalan sangatlah indah, asri, jauh dari polusi udara yang ada di Kota Besar.
Walaupun jalan menuju Curug ini hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki sejauh 2 km dari tempat parkir kendaraan, namun dengan suguhan pemandangan alam yang memikat, tidak akan terasa kita telah Wisata sambil ber Olahraga yang membuat sehat karena udara yang bersih.
Air jernih yang mengalir di sungai kecil sepanjang jalan, membuat kita terpana akan keindahan Alam yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Lokasi Curug Cigentis terletak di  Desa Mekarbuana, Kecamatan Tegalwaru 44 km dari Ibu Kota Kabupaten Karawang. 

CURUG CIPANUNDAAN

Curug Cipanundaan berada di kaki Gunung Sanggabuan dengan 3 (tiga) buah Curug jadi satu dalam satu areal seperti tangga, curungan air ditunda dalam kolam kesatu, turun lagi di kolam kedua, turun lagi ditunda dalam kolam ketiga, jalan ke Air Terjun Cipanundaan adalah masih Perawan dengan jalan setapak berliku-liku, naik turun, melewati sungai berbatu besar, sebelah kanan tebing disebelah kiri jurang dengan sungai.
Air Terjun ini baru ditemukan oleh Masyarakat setempat, dan Expedisi Wisata dengan Ketua Team Drs. AA Nugraha MK Kepala Dinas Penerangan, Pariwisata dan Budaya Kabupaten Karawang pada saat itu.
Wisata ke Curug Panundaan sangat berat dan menantang, namun Panorama indah dan masih Asli serta belum terjamah oleh tangan - tangan jahil, memberikan kesan yang tak akan terlupakan. Lokasi Curug Cipanundaan terletak di Desa Kutamaneuh, Kecamatan Tegalwaru 42 km dari Ibu Kota Kabupaten Karawang.
CURUG BANDUNG

Curug Bandung merupakan Keajaiban Alam dengan 7 (tujuh) air terjun dalam satu aliran sungai, dari mulai Curug Peuteuy, Curug Picung dan yang terbesar adalah Curug Bandung, Curug ini berada dibawah kaki Gunung Sanggabuana, perjalanan menuju Curug ini cukup berat yaitu jalan kaki sejauh 3 km, tetapi Panorama Alam sangatlah Indah, Asri, jauh dari polusi udara yang ada di Kota Besar.
Walaupun jalan menuju Curug ini hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki Wisata sambil ber Olahraga yang membuat sehat karena udara yang sehat dan bersih. Lokasi Curug Bandung terletak Desa Mekarbuana Kecamatan Tegalwaru  42 km dari Ibu Kota Kabupaten Karawang.
CURUG CIKARAPYAK

Curug Cikarapyak berada diatas Curug Cipanundaan, perjalanan sangat berat karena hanya jalan setapak menelusuri sungai berbatu, menibir tebing naik turun, menerabas semak belukar dan hutan belukar. Perjalanan menuju curug ini walaupun berat, kita akan melintasi Panorama Alam yang sangat mempesona, indah, alami dan banyak air terjun kecil yang berelif unik dan tak mungkin ada pada sungai sejenis di beberapa daerah lainnya di Indonesia.
Wisata ke Curug Cikarapyak hanyalah bagi orang - orang yang benar - benar mencintai Alam dan Petualang pencari tantangan alam yang ingin menikmati suasana hutan dengan keanekaragaman Flora dan Fauna yang orisinil. Lokasi Curug Cikarapyak terletak di  Desa Kutamaneuh, Kecamatan Tegalwaru, 42 km dari Ibu Kota  Kabupaten Karawang.

CURUG CIKOLEANGKAK

Curug Cikoleangkak adalah air terjun terakhir, curug ini berada diatas Curug Cikarapyak dan Curug Cipanundaan, untuk mencapai air terjun ini perlu Stamina dan Keberanian merambah Hutan Rimba.
Perjalanan menuju curug Cikoleangkak adalah cukup menegangkan, kita akan melintasi Hutan Rimba yang mungkin dijamah oleh manusia dalam hitungan jari menibir tebing padas dan batu yang terjal dan jurang yang dalam, meniti ketinggian dengan hanya berpegangan pada akar atau batu yang menonjol, menerabas semak belukar, menelusuri sungai berbatu besar dan puluhan air terjun kecil dengan Relief dan Motif yang unik mungkin langka di temukan di daerah lainnya di Indonesia.
Wisata ke Curug Cikoleangkak hanyalah bagi orang - orang yang benar - benar Pencinta Alam Sejati dan bagi anda pencari tantangna alam yang memacu Adrenalin. Lokasi Curug Cikoleangkak terletak Desa Kutamaneuh, Kecamatan Tegalwaru 42 km dari Ibu Kota Kabupaten Karawang.
BENDUNGAN PARISDO (WALAHAR)

Bendungan Parisdo atau Walahar adalah bendungan yang dibuat oleh Belanda pada Tahun 1925 atau pada masa penjajahan, dengan tujuan untuk menahan banjir di wilayah Utara Kabupaten Karawang dan mengairi persawahan Wilayah Karawang dan Wilayah Subang.
Saat ini Bendungan masih berdiri dengan kokoh, udara di lingkungan bendungan Walahar sangat sejuk, karena hempasan air dari bendungan terbawa oleh angin yang tertiup sepoi - sepoi, sehingga bendungan ini dijadikan tempat Wisata oleh Remaja ataupun Remako yang sedang kasmaran.
Disekitar bendungan ini berdiri Warung - warung sederhana dengan Menu Utamanya adalah Ikan Jambal dan Pepes Ikan Kecil - kecil seperti impun, adapula yang digoreng kering rasanya renyah dan ngerekes, makan di warung disini tidak akan menguras kantong Anda, karena harganya cukup murah namun kesannya tidak akan terlupakan. Lokasi Bendungan Walahar terletak di  Desa Walahar, Kecamatan Klari 10 km dari Ibu Kota Kabupaten Karawang.

DANAU KALIMATI

Danau Kalimati terjadi karena Alam, dimana Kali Citarum berubah aliran dari berbelok menjadi lurus, sehingga bekas aliran sungai tersebut terbendung maka jadilah Danau yang panjang dan luas ini.
Pada bagian depan Danau ini telah berdiri Warung - warung makan sederhana dengan Menu bervariasi, dari sate maranggi hingga jajanan umum seperti bakso dan lainnya, tersedia pula Warung Makan Lesehan dengan posisi menghadap ke arah Danau yang Panoramanya cukup Indah dan Nyaman. Lokasi Danau Kalimati terletak di  Desa Walahar, Kecamatan Klari 11 km dari Ibu Kota, Kabupaten Karawang.
Jarak .
DANAU CIPULE

Danau Cipule terjadi karena sisa explotasi manusia dengan penambang pasir, danau ini persis di pinggir Kali Citarum selain luas juga cukup dalam, namun Alam telah merubahnya sehingga terbentuk keindahan Alam di sekitar danau tersebut.
Di Danau inilah Lomba Dayung pada PORPROV X JABAR dilaksanakan, juga digunakan untuk Lomba Dayung YUNIOR ASEAN pada tahun 2006. Lokasi Danau Cipule terletak di  Desa Walahar, Kecamatan Ciampel 11 km dari Ibu Kota Kabupaten Kabupaten Karawang.

SITU KAMOJING

Danau atau Situ Kamojing adalah daerah resapan air, berada Kawasan Hutan Konservasi yang sering dijadikan Lokasi Shooting Film atau Sinetron.
Disekitar Situ Kamojing telah berdiri Restoran dengan Gaya Klasik Modernm juga tersedia ajang Rekreasi bagi Anak - anak dan Dewasa, di Lingkungan ini pula telah dibangun Hotel dengan Fasilitas Bintang Tiga. Lokasi Situ Kamojing terletak di Desa Dawuan Kecamatan Cikampek 22 km dari Ibu Kota Kabupaten Karawang.




MONUMEN RAWA GEDE

Monumen Rawa Gede didirikan untuk mengenang tewasnya 200 orang warga sipil yang teguh mempertahankan tempat persembunyian Pejuang Kemerdekaan, demi mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam diorama ini digambarkan kebiadaban dan kekejaman Tentara Belanda yang sedang membantai rakyat yang tak berdosa, termasuk diantaranya anak-anak dan perempuan. Di lingkungan Monumen Rawa Gede ini terdapat 200 makam rakyat yang rela mati demi mempertahankan kemerdekaan. Lokasi Monumen Rawa Gede terletak di Kecamatan Rawamerta 10 km dari Ibu Kota Kabupaten Karawang.




TUGU KEBULATAN TEKAD

Tugu Kebulatan Tekad Rengasdengklok  dibangun untuk mengenang Kebulatan Tekad Pemuda dan Pejuang serta Tokoh-tokoh Bangsa untuk merebut dan melepaskan Tanah Air dari kungkungan penjajah guna menuju Negara yang merdeka. Tugu ini dibentuk dengan motif tangan kiri yang mengepal tinju diartikan untuk melawan, sedangkan tangan kanan tidak dilukiskan karena memegang senjata atau bamboo runcing.
Kemudian di rumah Djiaw Kie Siong inilah Bapak Bangsa Soekarno – Hatta serta para tokoh Pemuda dan Pejuang merumuskan Naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Lokasu Tugu Kebulatan Tekad terletak di Kecamatan Rengasdengklok 20 km dari Ibu Kota Kabupaten Karawang.

Petilasan Jaka Tingkir, Sebuah Objek Wisata Religi dan Sejarah 

 Rawamerta (KarIn) – Petilasan Jaka Tinggkir berada satu komplek dengan Monumen Rawagede, hanya saja Petilasan Jaka atau Joko Tinggkir ini letaknya lebih ke dalam lagi dari jalan raya. Di lokasi petilasan beberapa pohon besar tumbuh subur sehingga menimbulkan kesan alami. Menurut warga disana, pohon-pohon besar tersebut dibiarkan tumbuh agar menambah kesan magis di lokasi yang dikeramatkan tersebut

Situs Batu Jaya

sejarah situs batu jaya


Menelusurii saluran irigasi dari sungai Citarum kita bisa menatap sepanjang mata memandang persawahan yang mulai menghijau dengan para petani yang sedang bercocok tanam diiringi kepak sayap burung belibis, bangau serta celoteh bebek yang sedang mencari makan. Pesona Jawa Mengajak teman teman untuk untuk menelusuri jejak peninggalan. situs Batu Jaya komplek candi Buddhistik di pesisir utara Karawang. Kita bisa menyaksikan proses ekskavasi dimana candi yang semula berada di bawah tanah mulai di bersihkan dan di rekontruksi kembali layaknya arkeolog.

Sekilas tentang situs batu Jaya

Situs Batujaya secara administratif terletak di dua wilayah desa, yaitu Desa Segaran, Kecamatan Batujaya dan Desa Telagajaya, Kecamatan Pakisjaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Luas situs Batujaya ini diperkirakan sekitar lima km2. Situs ini terletak di tengah-tengah daerah persawahan dan sebagian di dekat permukiman penduduk dan tidak berada jauh dari garis pantai utara Jawa Barat (pantai Ujung Karawang). Batujaya kurang lebih terletak enam kilometer dari pesisir utara dan sekitar 500 meter di utara Ci Tarum. Keberadaan sungai ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keadaan situs sekarang karen tanah di daerah ini tidak pernah kering sepanjang tahun, baik pada musim kemarau atau pun pada musim hujan.

Situs Batujaya pertama kali diteliti oleh tim arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang disebut Fakultas Ilmu Budaya UI) pada tahun 1984 berdasarkan laporan adanya penemuan benda-benda purbakala di sekitar gundukan-gundukan tanah di tengah-tengah sawah. Gundukan-gundukan ini oleh penduduk setempat disebut sebagai onur atau unur dan dikeramatkan oleh warga sekitar. Terdapat 17 unur pada lokasi ini, satu diantaranya sudah selesai di ekskavasi yakni Candi Jiwa sedangkan yang dalam tahap ekskavasi hingga artikel ini dibuat dinamakan Candi Blandongan. Unur-unur lain benar-benar masih dalam bentuk gundukan tanah, beberapa diantaranya telah meiliki nama: Serut, Gundul, Damar, Batu Lingga, Lingga dan Lempeng. Kesengajaan membiarkan candi-candi tersebut masih dalam gundukan tanah atau unur, dikarenakan untuk terhindar dari pencurian/perampokan benda-benda cagar budaya oleh masayarakat. Dengan membiarkannya dalam bentuk gundukan tanah, setidaknya akan mempersulit seseorang untuk mengambil benda-benda cagar budaya, karena harus menggali terlebih dahulu.
Selain dalam bentuk candi juga ditemukan pula sebuah sumur tua yang lokasinya tidak jauh dari lokasi Candi Blandongan dan sudah dinaungi cungkup diatasnya. Dibagian lain juga ditemukan sebuah batu pipih besar yang diperkirakan akan dipakai sebagai tempat penulisan prasasasti, namun entah karena faktor apa hingga kini tidak ada satu tulisanpun yang terukir dibatu tersebut. Dugaan yang timbul, mungkin telah terjadi bencana alam atau peperangan, sehingga batu pipih tersebut masih polos dari prasasti/tulisan.

Penanggalan
Berdasarkan analisis radiometri Carbon 14 pada artefak-artefak peninggalan di candi Blandongan, salah satu situs percandian Batujaya, diketahui bahwa kronologi paling tua berasal dari abad ke-2 Masehi dan yang paling muda berasal dari abad ke-12.
Di samping pertanggalan absolut di atas ini, pertanggalan relatif berdasarkan bentuk paleografi tulisan beberapa prasasti yang ditemukan di situs ini dan cara analogi dan tipologi temuan-temuan arkeologi lainnya seperti keramik China, gerabah, votive tablet, lepa (pleister), hiasan dan arca-arca stucco dan bangunan bata banyak membantu.
Misteri
Sebuah cerita misteri ikut mewarnai candi-candi ini. Terdapat peraturan tak tertulis pada lokasi ini bahwa pengunjung dilarang membawa pulang batu-batuan yang merupakan bagian dari badan candi. Terkadang meskipun sudah ada larangan tersebut, masih ada saja pengunjung yang iseng membawa pulang beberapa buah batu untuk dijadikan jimat/penglaris/sarana untuk memajukan usahanya. Namun beberapa hari kemudian pengunjung tersebut kembali lagi kelokasi candi untuk mengembalikan batu yang telah mereka ambil, karena tidak tahan menghadapi "gangguan-gangguan" yang dialaminya. (dari berbagai sumber)

Pernak pernik peninggalan di situs batu jaya


















Situs Cibuaya

Situs Cibuaya

 Situs Cibuaya adalah Situs peninggalan Megalitikum, ini terbukti dengan adanya Batu Lingga yang berdiri tegak diatas susunan batu bata besar berukuran 9 x 9 m, Masyarakat setempat menyebutnya Lemah Duhur Lanang (laki-laki). Sedangkan Yoni yang tersisa hanya Fondasinya saja yang berukuran 6 x 6 m, dan Masyarakat setempat menyebutnya Lemah Duhur Wadon (perempuan).

Dari Situs ini pada Tahun 1952 ditemukan Arca Wisnu bergaya Pala India, diperkirakan dibuat pada Abad 7-8 M dinamakan Arca Wisnu Cibuaya I, Tahun 1972
ditemukan lagi Arca Wisnu dengan motif yang sama namun diperkirakan dari Abad ke 8-10 M dinamakan Arca Wisnu Cibuaya II, dan pada Tahun 1975 ditemukan lagi Arca Wisnu Cibuaya III, kini ke 3 Arca tersebut disimpan di Musium Nasional Jakarta.
Situs Percandian Cibuaya merupakan komplek beberapa bangunan dan tinggalan purbakala di Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat (koordinat 107°21'25" BT dan 6°5'56" LS) dan secara geografis terletak di daerah Ujung Karawang, berjarak sekitar 6 km dari garis pantai utara Jawa. Daerah ini relatif termasuk dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 6 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar dataran Cibuaya dimanfaatkan oleh penduduk sebagai lahan pertanian sawah basah dengan teknik irigasi.

Penemuan arca Wisnu dari Desa Cibuaya pada sekitar tahun 1951 (Wisnu 1) dan 1957 (Wisnu 2), serta tahun 1977 (Wisnu 3) merupakan awal ditemukannya Situs Cibuaya. Dengan ditemukannya arca para arkeolog berasumsi tentang adanya bangunan suci dan juga sisa pemukiman masyarakat pendukung bangunan suci tersebut. Laporan penduduk setempat menyatakan adanya suatu gundukan besar yang dianggap angker dan disebut "Lemah Duhur Lanang", yang letaknya tidak jauh dari lokasi penemuan arca Wisnu 1. Lemah duhur ("tanah tinggi") ini ternyata adalah sisa-sisa bangunan yang telah runtuh. Hingga tahun 1993, runtuhan bangunan yang terdapat di Situs Cibuaya seluruhnya berjumlah tujuh buah yang terdapat pada Sektor CBY 1 sampai CBY 6. Dua runtuhan di antaranya terdapat pada Sektor CBY 5 dengan posisi yang saling bersebelahan.

Dari seluruh bangunan candi yang ditemukan di Situs Cibuaya yang paling menarik adalah bangunan candi di Lemah Duhur Lanang. Bangunan yang dibuat dari bata ini berdenah hampir bujursangkar dengan ukuran 9 × 9,6 meter dan tinggi dua meter, menghadap ke arah barat laut dengan tangga berukuran lebar 2,2 meter. Bagian fondasinya dibuat dari pecahan bata yang bercampur dengan kerikil dan batu kali. Di bagian puncak runtuhan bangunan Lemah Duhur Lanang terdapat sebuah lingga yang masih berdiri in-situ. Lingga ini berukuran tinggi 111 cm dan bergaris tengah 40 cm. Bentuk lingganya sendiri bukan merupakan bentuk lingga yang sempurna (lingga semu) karena tidak memiliki bagian yang berdenah segi delapan (wisnubhaga). Bagian yang ada hanya yang berdenah persegi ("brahmabhaga") dan bundar ("rudrabhaga"). Dengan ditemukannya lingga dalam konteksnya dengan bangunan suci dan arca Wisnu yang ditemukan di dekatnya, dapat disimpulkan bahwa bangunan Lemah Duhur Lanang adalah bangunan suci untuk pemeluk agama Hindu.

Bangunan-bangunan lain yang ditemukan di Situs Cibuaya ukurannya lebih kecil, separuh dari ukuran bangunan Lemah Duhur Lanang. Bangunan tersebut adalah CBY 2 dengan ukuran 3,5 × 3,5 meter; CBY 5 dengan ukuran 3,4 × 4,5 meter dan 4,4 × 4,8 meter. Bangunan-bangunan lain telah rusak dan tidak diketahui bentuk dan ukurannya.

Lokasi Situs Cibuaya I terletak di Desa Cibuaya, Kecamatan Pedes 30 km dari Ibu Kota Kabupaten Karawang