Monday, November 19, 2012

Masuknya Agama Islam Ke Kab. Karawang

PERKEMBANGAN MASUKNYA AGAMA ISLAM KE KABUPATEN KARAWANG
 
      Jalur perdagangan dan penyebaran dari pusat pemerintahan Islam di 
Damaskus dan Baghdad kenusantara dalam garis besarnya ada dua, yaitu : melalui
daratan Tiongkok ketimur tengah yang disebut "jalur sutra" dan melalui perlak
di Aceh terus berlayar melalui Lautan India ke Gujarat dan Teluk Persia.

Sejak tahun 671 M, Kerajaan Melayu Tua dan Sriwijaya telah mengorganisir
perdagangan rempah-rempah dan dengan menggunakan kapal dagang yang bertolak
dari pelabuhan Muara sabak, dekat sungai Batanghari. Route pertama yang
dipergunakan selama hampir seratus tahun adlah tetap yaitu Muara sabak, kapal
pengangkut rempah-rempah melalui Cina selatan dan berhenti dulu di Cempa.Dari
sini kapal berlabuh di Canton Tiongkok, kemudian barang dagangan ini diangkut
oleh rombongan para pedagang yang menggunakan unta, lewat jalan darat langsung
menuju Damaskus Syiria.

Pada tahun 715 M,Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dari Dinasti Umayah,
menemukan jalur perdagangan yang baru yang lebih menguntungan yaitu melalui
Teluk persia terus keGujarat India, ke Perlak di Aceh, kemudian,kemudian
langsung ke Kerajaan Sriwijaya. Untuk meningkatkan perdagangan dan penyebaran
agama Islam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz Tahun 718 M, mengirim misi diplomatik
ke Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Kalangga di Japara, sehingga perdagangan
semakin menguntungkan dan Kota Damaskus menjadi kota perdagangan di Dunia.
Namun tidak digunakan "jalur sutra" tentu sangat merugian Tiongkok, sehingga
sehingga Kaisar dari Dinasti Tang yang memerintah abad VII-IX melakukan
penyerangan terhadap kerajaan Sriwijaya dan Raja Sindrawarman yang telah
memeluk agama Islam tewas terbunuh .

Kerenggangan diplomatik dengan pihak Tiongkok dapat dipulihkan kembali
oleh Khalifah Harun Al Rasyid yang memerintah tahun 786-809 M, sehingga bukan
saja melancarkan hubungan dagang, akan tetapi juga dalam penyebaran Agama
Islam. Hal ini ditndai dengan bertambahnya Islam disumatra dan Malaka.seperti
kesultanan Daya Pasai, Bandar Kapilah, Muara Malaya, Aru Baruman, dan
kesultanan kuntu campa. Perdagangan yang melalui dua jalur tadi membawa
kestabilan dan pemerintahan Kesultanan Islam di Sumatra dan Malaka dan
penyebaran agama Islam antara Abad VII-XV makin meluas ke kota kota pelabuhan
di pulau Jawa. Pada Tahun 1409, Kaisar Cheng Tu dari Dinasti Ming memerintahkan
Laksamana Haji Sampo Bo untuk memimpin Armada Angkatan Lautnya dan mengerahkan
63 buah Kapal dengan prajurit yang berjumlah hampir 25 000 orang untuk menjalin
persahabatan dengan kesultanan yang beragama Islam. Dalam Armada Angkatan Laut
Tiongkok itu rupanya diikutsertakan Syeh Hasanuddin dari Campa untuk mengajar
Agama Islam dikesultanan Malaka, Sebab Syeh Hasanuddin adalah putra Ulama
besar Perguruan Islam di Campa yang bernama Syeh Yusuf Siddik yang masih ada
garis keturunan dengan Syeh Jamaluddin serta Syeh Jalaluddin Ulama besar Mekah.
Bahkan menurut sumber lain garis keturunannya sampai kepada Syaidina Husein bin
Syaidina Ali ra, menantu Rosulullah saw. Adapun pasukan angkatan laut Tiongkok
pimpinan Laksaman Sam Po Bo lainnya ditugaskan mengadakan hubungan persahabatan
dengan KI Gede Tapa Syah Bandar Muara Jati Cirebon serta sebagai wujud
kerjasama itu dibangunlah sebuah menara dipantai pelabuhan Muara Jati.

Kegiatan penyebaran Agama Islam oleh Syeh Hasanuddin rupanya sangat
mencemaskan penguasa Pajajran yang bernama Prabu Angga Larang, Sehingga
dimintanya agar penyebaran tersebut dihentikan. Oleh Syeh Hasanuddin perintah
itu dipatuhi. Kepada utusan yang datang kepadanya ia mengingatkan, bahwa
meskipun Dakhwah itu dilarang, namun kelak dari ketrunan Prabu Angga Larang ada
yang akan menjadi Walillulah. Beberapa saat kemudian Syeh Hasanuddin mohon
diri kepada Ki Gede Tapa sendiri, sangat prihatin atas peristiwa yang menimpa
Ulama Besar, Sebab Ia pun ingin menambah pengetahuannya tentang Agama Islam.
Oleh karena itu sewaktu Syeh Hasanuddin kembali ke Malaka, putrinya yang
bernama Nyi Subang Karancang dititipkan ikut bersama Ulama Besar ini untuk
belajar Agama Islam di Malaka.

Beberapa waktu kemudian Syeh Hasanuddin membulatkan tekadnya untuk
kembali kewilayah Kerajaan Hindu Pajajaran. Untuk keprluan tersebut, maka telah
disiapkan 2 perahu dagang yang memuat rombongan para santrinya termasuk Nyi
Subang Karancang. Setelah rombongan ini memasuki Laut Jawa, Kemudian memasuki
Muara Kali Citarum yang ramai dilayari oleh Perahu para pedagang yang memasuki
wilayah Pajajaran. Selesai menyusuri Kali Citarum ini akhirnya rombongan perahu
singgah di Pura Dalam atau Pelabuhan Karawang.Kedatangan rombongan Ulama Besar
ini disambut baik oleh petugas Pelabuhan Karawang dan di izinkan untuk
mendirikan Musholla yang digunakan juga untuk belajar mengaji dan tempat
tinggal. 
 
DI PELABUHAN KARAWANG 
 
        Nama Karawang berasal dari Bahasa Sunda KARAWA-AN, adalah Nama suatu 
kesatuan wilayah dan juga nama salah satu pelabuhan yang terletak ditepi kali
Citarum pada masa pemerintahan Kerajaan Pajajaran. Sebagai suatu Wilayah,
Karwang sudah memegang peranan penting pada masa Pemerintahan kerajaan
Tarumanegara yang berkuasa pada abad IV-VI M. Tim Arkelogi Nasional yang
melakukan penelitian sejak tahun 1952 sampai sekarang, banyak menemukan
peninggalan kerajaan Tarumanegara seperti bekas bangunan candi dan lain-lainnya
di sekitar Desa Seragan Batu Jaya dan Desa Cibuaya. demikian juga adanya nama
Patruman sebuah kampung di dekat Rengasdengklok, diduga bakas salah satu
pelabuhan Tarumanegara.

Pertama kali Citarum beberapa abad yang lalu merupakan satu-satunya
pilihan untuk jalur lalu lintas bagi kelancaran kegiatan perdagangan,
pemerintah dan lain-lain. Kerajaan Pajajaran sebagai penerus kerajaan
Tarumanegara yang memerintah pada abad VIII untuk kepentingan yang
sama.Disebutkan juga bahwa Karawang sebagai salah satu pelabuhan penting
kerajaan Pajajaran, seperti halnya pelabuhan Baten, Tanggerang, Sunda Kelapa
dan Bekasi. Dari Pelabuhan Karawang ramai diperdagangan barang dagangan ke
pelabuhan Sunda Kelapa, seperti madu, ikan kering dan hasil pertanian yang
banyak dibeli oleh para pedagang Portugis.

Selain sebagai pelabuhan Karawang juga menjadi tampat persimpangan
jalan darat dari Pakuan ibu kota krajaan Pajajaran ke Kawali (galuh). Kota yang
dilewati adalah Cibarusah, Warunggede, Tangjungpura, Karawang, Cikao,
Purwakarta, Sagalaherang, Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga,
bferakhir di Kawali.

Menurut Amir Sutaarga dalam bukunya "Prabu Siliwangi" halaman 58, jalan
darat tersebut merupakan "High-way" nya kerajaan Pajajaran di masa itu. Sebab
dengan adanya jalur jalan darat, dan kota-kota pelabuhan seperti Bnaten,
Tanggerang, Sunda Kelapa, Bekasi, Karawang, maka seluruh wilayah Pajajaran
terkontrol secara baik.

Pentingnya peranan pelabuhan Karawang, bukan saja pada masa
pemerintahan Pajajaran dari abad VIII sampai abad XVI M, yakni hampir 800
tahun, akan tetapi sampai juga masa pemerintahan Sulatan Agung Mataram yang
telah mengangkat Bupati Karawang pertama Adipati Singaperbangsa dan Aria
Wirasaba. Bahkan sampai berakhirnya masa pemerintahan kolonial Belanda dan
Jepang. Pelabuhan Karawang memiliki 2 tempat penghentian.Untuk perahun yang
datang dari arah Patarumanatau Laut Jawa berlabuh di Kampung Teluk Bunut.
Sedangkan untuk perahu yang datang dari arah Cikao, berlabuh di kampung
Nagasari Jebug. Perahun para pedagang ini tidak mau menelusuri Kali Citarum
yang melingkari kampung Poponcol. Selain jaraknya cukup jauh yaitu hampir 5 Km,
juga pada masa itu airnya deras dan banyak batu cadas. Sedangkan jika berhenti
di pelabuhan Kampung Teluk Bunut dan Nagasari, anatara kedua tempat berlabuh
itu jfaraknya cukup dekat dan hanya memerlukan jalan penghubung sepanjang
kira-kira 400 meter.

Dengan adanya 2 pelabuhan tersebut maka akan timbul kegiatan muat
bongkar, terjadinya jual beli sehingga dibutuhkan adanya pasar. Warung makanan
minuman, tempat menginap bagi yang kemalaman. Sedangkan bagi petugas perwakilan
pemerintah Pajajaran ada kegiatan memelihara keamanan dan ketertiban,
pengawasan lalu lintas barang dan orang bepergian dan sebagainya.

Ke Pelabuhan Karawang dengan kesibukan seperti dijelaskan itulah,
rombongan Syeh Quro dengan 2 perahunya itu singgah yang menurut Buku Rintisan
Sejarah Masa Silam Jawa Barat terbitan tahun 1983-1984 disebut Pura Dalem.
Mungkin yang dimaksud ialah kota (pura) dimana ada kegiatan petugas pemerintah
di bawah kewenangan jabatan Dalem. Yang tidak lain ialah pelabuhan Karawang.
Rombongan Ulama Besar ini lazimnya sangat menjunjung peraturan kota pelabuhan
yang dikunjungi, sehingga aparat setempat sangat menghormatinya dan memberi
izin untuk mendirikan musholla yang digunakan tempat untuk mengaji atau
peasntren dan sekaligus sebagai tempat tinggal. Lokasi yang dipilih untuk
keperluan itu tentu tidak begitu berjauhan dengan kegiatan pelabuhan. Setelah
beberapa waktu berada dipelabuhan Karawang, Syeh Quro menyampaikan Da'wahnya di
Musholla yang dibangunnya penuh keramahan. Uraiannya tentang Agama Islam mudah
dipahami, dan mudah pula untuk diamalkan, Karena Ia bersama santrinya langsung
memberi contoh. Pengajian Al Qur'an memberikan daya tarik tersendiri, karena
Ulama Besar ini memang seorang Qori yang merdu suaranya. Oleh karena itu setiap
hari banyak penduduk setempat yang secara sukarela menyatkan masuk Islam.

Berita tentang dakwah Syeh Quro di pelabuhan Karawang rupanya telah
terdengar Prabu Angga Larang yang pernah melarang Syeh Quro melakukan kegiatan
yang sama tatkala mengunjungi pelabuhan Muara Jati Cirebon, seperti sudah
disinggunkan pada bab II terdahulu. Sehingga ia segera mengirim utusan yang
dipimpin oleh putera mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk menutup
Pesantren Syeh Quro. Namun ta'kala putera mahkot ini tiba ditempat tujuan,
rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu pembaca ayat-ayat suci Al
Qur'an yang dikumandangkan oleh Nyi Subang Karancang. Putar Mahkota yang
setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Prabu Siliwangi, itu
mengurungkan niatnya untuk menutup pesantren Quro, dan tanpa ragu-ragu
menyatakan isi hatinya untuk memperistri Nyi Subang Karancang yang cantik itu.
Lamaran tersebut rupanya diterima oleh Nyi santri dengan syarat maskawinnya
harus "Bintang Saketi" yaitu simbol dari "tasbeh" yang berada di Negeri Mekah.
Sumber lain menyatakan bahwa, hal itu merupakan kiasan bahwa sang Prabu harus
masuk Islam, dan patuh dalam melaksanakan syariat Isalam. Selain itu, Nyi
santri juga mengajukan syarat, agar anak-anak yang akan dilahirkan kelak harus
ada yang menjadi Raja. Semua hal tesebut rupanya disanggupi oleh Raden Pamanah
Rasa, sehingga beberapa waktu ke mudian pernikahan pun dilaksanakan, bertempat
di Pesantren Quro atau Mesjid Agung sekarang dan Syeh Quro bertindak sebagai
penghulunya.

Perkawinan di musholla yang senantiasa mengAnggungkan asma Allah SWT
itu memang telah membawa hikmah yang besar. Para putera puteri yang dikandung
oleh Nyi Subang Karancang yang muslimah itu, memancarkan sinar IMAN dan ISLAM
bagi umat di sekitarnya. Nyi Subang Karancang sebagi isteri seorang Raja memang
harus berada di Istana Pakuan Pajajaran, dengan tetap memancarkan Cahaya
Islam. Putera pertama yang laki-laki bernama Raden Walangsungsang setelah
melewati usia remaja, maka bersama adiknya yang bernama Raden Rara Santang,
meninggalkan Istana Pakuan Pajajaran kemudian mendapat bimbingan dari Ulama
Besar yang bernama Syeh Dzatul Kahfi di Paguron Islam di Cirebon. Setelah kakak
beradik ini menunaikan ibadah Haji, maka Raden Walangsungsang menjadi Pangeran
Cakrabuana memimpin pemerintahan Nagari Caruban Larang, Cirebon. Sedangkan
Raden Rara Santang waktu di Mekah diperistri oleh Sulatan Mesir yang bernama
Syarif Abdillah. Adik Raden Walangsungsang yang bungsu adalah laki-laki bernama
Raden Kian Santang, pada masa dewasanya menjadi Munaligh untuk menyebarkan
Agama Islam di daerah Garut.

Adapun Raden Nyi Mas Rara Santang setelah kawin dengan Syarif Abdillah,
namanya diganti menjadi Syarifah Muda'im. Dari perkawinan ini mereka dikarunai
dua orang putera masing-masing bernama Syarif Hidayatullah, dan Syarif
Nurullah. Setelah ayahnya meninggal dunia jabatan sultan diserahkan kepada
Syarif Nurullah, sebab Syarif Hidayatullah setelah menimba ilmu Agama yang luas
dari para Ulama Mekah dan Bagdad, ia bertekad untuk menjadi Mubaligh di
Cirebion. Demikianlah tahun 1475 ia bersama ibunya berlayar ke Cirebon dan
kedatangnya disambut dengan penuh kebahagiaan oleh Pangeran Cakrabuana atau
Cakraningrat. Setelah usia Pangeran Cakraningrat cukup tua, Syarif Hidayatullah
dipercaya untuk menggantikan kedudukannya dengan gelar Susuhunan atau Sunan.
Pengangkatan Syarif Hidayatullah tersebut mendapat dukungan terutama dari Raden
Fatah, Pemimpin Pesantren dan Sunan Bintoro, putera Raja Majapahit Brawijaya V,
yang diangkat menjadi Sulatan Kerajaan Islam Demak I. Dalam rangka pembangunan

Mesjid Agung Demak, Sunan Cirebon diundang untuk menetapkan kebijaksanaan
tentang penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa. Sidang para Sunan yang dikenal
Wali Songo itu juga menetapkan bahwa Syarif Hidayatullah diangkat menjadi ketua
atau pimpinan dari Wali Songo, dengan gelar Sunan Gunung Jati. Dengan demikian
apa yang dikatakan oleh Syeh Quro, bahwa kelak dari keturunan Raja Pajajaran
ada yang menjadi Waliyullah, dan permohonan Nyi Subang Karancang perkawinannya
dengan Prabu Siliwangi ada yang menjadi Raja, telah menjadi kenyataan. Sejarah
juga mencatat, bahwa dengan berkembangnya kerajaan Islam yang mendapat dukungan
dari Wali Songo, maka pengaruh kerajaan Majapahit dan Pajajaran semakin
memudar. Bahkan pada tahun 1579 M, kerajaan Pajajaran lumpuh sama sekali akibat
dikalahkan oleh Syeh Yusuf itu adalah Putera Sultan Hasanuddin atau cucu Sunan
Gunung Jati, yang tidak lain masih keturunan Nyi Subang Karancang dari
perkawinannya dengan Prabu Siliwangi yang diselenggarakan di Mesjid Agung
Karawang.

Adapun kegiatan pesantren Quro yang lokasinya tidak jauh dari
pelabuahan Karawang, rupanya kurang berkembangnya karena tidak mendapat
dukungan dari pemerintah kerajaan Pajajaran. Hal tersebut rupanya dimaklumi
oleh Syeh Quro, sehingga pengajian di pesantren agak dikurangi, dan kegiatan di
Masjid lebih dititik beratkan pada ibadah seperti sholat berjamaah. Kemudian
para santri yang telah berpengalaman disebarkan kepedesaan untuk mengajarkan
Agama Islam, terutama daerah Karawang bagian Selatan seperti Pangkalan.
Demikian juga kepedesaan dibagian Utara Karawang yang berpusat di Desa Pulo
Kalapa dan sekitarnya. Banyak hal yang menarik dalam cara penyebarannya Agama
Islam oleh Syeh Quro antara lain :

1. Sebelum menyampaikan ajaran Islam dibangunnya terlebih dahulu sebuah Masjid,
seperti halnya yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Rosulullah SAW, sewaktu
melakukan Hijrah dari Mekah ke Madinah, maka beliau terlebih dahulu membangun
Masjid Quba.

2. Dalam menyampaikan ajaran Islam ditempuhnya melalui pendekatan yang disebut
Dakwah Bil Hikmah, sebagaimana Firman Allah dalam Al Qur'an surat XVI An Nahl
ayat 125, yang artinya : "Serulah kejalan tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan)
dan dengan pelajaran yang baik, dan bertukar fikiranlah dengan mereka dengan
cara yang terbaik".

3. Sebelum memulai Dakwahnya, telah disiapkan para kader penyebaran Agama Islam
(Mubaligh-Mubalighoh) yang mampu berhubungan dengan masyarakat, termasuk Nyi
Subang Karancang. Syeh Quro sangat memperhatikan situasi kondisi masyarakat dan
sangat menghormati adat istiadat penduduk yang didatanginya.

4. Para Ulama dan tokoh masyarakat kebanyakan berpendapat bahwa tempat
pengabdian Syeh Quro sampai akhir masanya, ialah di Desa Pulo Kalapa Kecamatan
Lemah Abang.

5. Pengabdian Syeh Quro demgam para santri dan para Ulama generasi penerusnya
adalah " menyalakan pelita Islam", sehingga sinarnya memancarkan terus di
Karawang dan sekitarnya.

Dalam semaraknya penyebaran Agama Islam oleh Wali Songo, maka masjid
yang dibangun oleh Syeh Quro, kemudian disempurnakan oleh para Ulama dan Umat
Islam yang modelnya berbentuk "joglo" beratap 2 limasan, hampir menyerupai
Masjid Agung Demak dan Cirebon.

No comments:

Post a Comment