Tuesday, January 11, 2011

Silsilah Syekh Abdul Ghorib

Silsilah Syekh Haji Abdul Ghorib

Syekh Haji Abdul Ghorib, adalah seorang ulama besar mempunyai jiwa kewalian, tinggi budi pekertinya, besar pengaruhnya, berwibawa dalam kepemimpinan, luhur ilmunya, dituruti oleh segenap rakyat, cinta thdp bangsa dan tanah air, cinta agama serta kasih saying terhadap sesama makhluk Alloh SWT.

A. Perkataan Ghorib
Perkataan Ghorib diambil dari bahasa Arab yg berasal dari kalimat;
- Ghoroba ( ) artinya bertempat tinggal di negeri lain atau di daerah orang lain sebagai
pengembara/pendatang.
- Ghoriibun ( ) artinya orang pendatang, pemilik yang banyak keajaiban-keajaiban.
- Ghooribun ( ) artinya yang tinggi dari tiap-tiap sesuatu, luhur martabatnya, luhur ilmunya dari
orang lain.

B. Pesantren
Syekh Haji Abdul Ghorib, dilahirkan di daerah Kudus (waktu itu termasuk daerah Kerajaan Mataram – Jawa Tengah) sekitar tahun 1655 M / 1076 H. Semenjak kecil beliau suka tolab ilmu (mencari ilmu) seperti ilmu pengetahuan, ilmu kenegaraan dan ilmu keagamaan (terutama Agama Islam ). Tiap-tiap pesantren pun didatanginya baik yang berada di Pulau Jawa maupun yang ada di pulau Sumatera termasuk ke daerah Aceh.

C. Naik Haji.
Setelah ilmunya banyak beliau bersama beberapa santri lainnya diajak oleh gurunya ke Tanah Suci Mekkah dengan maksud yang sama yaitu berangkat untuk menunaikan kewajiban Rukun Islam yg kelima (Ibadah Haji ke Baitullah).

D. Bermukim Di Mekah.
Syekh Haji Abdul Ghorib saat di Mekkah sudah kelihatan adanya tanda-tanda/sifat-sifat kewalian, sehingga oleh gurunya beliau disuruh untuk bermukim dulu di Mekkah sambil memperdalam ilmu keagamaan yaitu tentang ajaran Agama Islam.

E. Mendirikan Pesantren.
Setelah beberapa tahun bermukim di Mekkah dan telah memperoleh ilmu tentang Agama Islam, kemudian beliau pulang ke tanah kelahirannya di P. Jawa tepatnya daerah Kudus. Setibanya di tempat tsb beliau disambut oleh masyarakat Kudus, dan selanjutnya mereka beramai-ramai mendirikan pesantren dan tempat tinggal (rumah) bagi Syekh Haji Abdul Ghorib.

Berkat hasil gotong royong masyarakat, maka terwujudlah suatu pesantren yang megah dan banyak dikunjungi oleh santri dari tiap-tiap daerah dengan maksud untuk melakukan tolabul ilmi.

Setelah berhasil mendirikan pesantren, tak lama kemudian beliau oleh orang tuanya dinikahkan kepada gadis pilihannya yg bernama Rd. Ajeng Ayu Sutri (masih keturunan keraton) yang benar-benar taat dan patuh terhadap ajaran Agama Islam.

Pada saat keemasannya mengembangkan ajaran Agama Islam, dan santri-santrinya pun banyak yg terdiri dari santri anak-anak, remaja, dewasa atau orang tua baik laki-laki maupun perempuan, maka meletuslah suatu peperangan dengan Kompeni Belanda (VOC) terhadap penduduk asli terutama terhadap pemuka-pemuka Agama Islam. Terjadinya peperangan tsb semakin hari semakin meluas kesetiap penjuru pulau Jawa termasuk ke Pulau Madura.

Syekh Haji Abdul Ghorib dgn menggunakan taktik gerilya bersama para santrinya dan masyarakat setempat ikut serta dlm peperangan untuk menumpas penjajah Belanda. Namun karena kekuatan pasukan Belanda yg terus bertambah (tidak seimbang dgn pasukan dari pribumi) dan persenjataannya semakin lengkap menyebabkan rakyat dgn pasukan gerilyanya mengalami kewalahan dan terdesak oleh kekuatan angkatan perang Belanda.

Untuk menghindari dari serangan Belanda akhirnya memilih mundur / meloloskan diri dengan maksud lebih baik mundur daripada harus tunduk dan mengabdi terhadap Belanda.

F. Hijrah Ke Jawa Barat.
Syekh Haji Abdul Ghorib bersama keluarga dan beberapa pengikutnya serta seorang ajengan yang bernama Nursiban berhasil meloloskan diri dan hijrah ke Jawa Barat dengan maksud untuk mendapatkan suatu perlindungan sambil menyusun kembali kekuatan dalam rangka mengembangkan ajaran Agama Islam.

Sebelum berangkat menuju daerah Jawa Barat, Syekh Haji Abd.Ghorib sempat berziarah ke Makam Syekh Maulana Malik Ibrahim di Gresik dekat Surabaya. Setelah selesai berziarah di makam tersebut kemudian berangkat menuju Jawa Barat tepatnya ke Cirebon dengan mengambil jalan pinggir pesisir pantai utara Pulau Jawa.

Di Cirebon beliau mendatangi pembesar-pembesar / pemuka-pemuka Agama Islam dengan maksud silaturahmi dan minta pendapat untuk menyusun pasukan dan mengembangkan kembali ajaran Agama Islam dan di daerah ini pula beliau sempat berziarah ke Makam Wali Sunan Gunung Jati.

Selesai dari Cirebon, selanjutnya beliau berangkat menuju Banten dgn tujuan mendatangi para pembesar /pemuka Agama dan para Ulama Islam. Di Banten ini beliau sempat berziarah ke Makam Syekh Sultan Hasanudin.

Setelah dari Banten beliau menuju Bogor, dan bersama rombongannya sempat meninjau tempat Prasasti batu tulis dan berziarah ke tempat kerajaan Tarumanegara (Kerajaan Peninggalan Purbakala Zaman Raja Purnawarman) sambil mengadakan Silaturahmi dengan para ulama di daerah tersebut.

Dari tiga daerah tersebut yaitu Cirebon,Banten dan Bogor, beliau mendapat petunjuk untuk terus melakukan perjalanan menuju daerah Sumedang sebelah Timur dan ke sebelah Selatan daerah Tasikmalaya.

Sesampainya di daerah Sumedang, beliau berserta rombongannya di sambut baik oleh masyarakat dan para alim ulama setempat, malah dari pihak pemerintah setempat beliau di berikan seorang pejabat dari kejaksaan (Raden Paranakusumah) yang bertugas untuk menemaninya selama melakukan perjalanan ke daerah lain / sampai ke tempat yang dituju. Lalu beliau beserta rombongannya menuju daerah Tasikmalaya.

G . Mendirikan Pesantren Di Tasikmalaya
Setibanya di Tasikmalaya Syekh Haji Abdul Ghorib dgn rombongannya mendatangi / silaturahmi ke saudaranya yaitu, Syekh Haji Abdul Muhyi di Pamijahan. Dengan mohon do’a restu-Nya untuk bermukim di suatu daerah yang telah di tentukan. Tepatnya di sebuah kampung yang terletak di suatu daerah yang di kelilingi bukit-bukit, kemudian beliau bermukim dan mendirikan sebuah pesantren (+ tahun 1708 M / 1129 H). Beliau mendirikan pesantren pada usia 53 tahun.

Syekh Haji Abdul Ghorib menetap didaerah tersebut (Kampung Pesantren) selama kurang lebih 37 tahun, nama Kampung Pesantren sendiri awalnya yaitu karena ramainya kampung tersebut banyak didatangi oleh mereka yang ingin mencari ilmu tentang ajaran Agama Islam (Mesantren), juga dipenuhinya para santri yg datang dari daerah sekitarnya maupun dari daerah jauh.

Nama Kampung Pesantren pd wkt itu tercantum di dalam atlas terutama sekali di dlm kar (atlas lapangan) yang biasa di pakai oleh anggota militer dan Kampung Pesantren termasuk pada wilayah kekuasaan Kewedanaan Cicariang Kolot (Sekarang bernama Kampung Muncang) dan yg menjadi wedananya bernama Raden Surawijaya.

Pada usia 90 tahun (1745 M / 1165 H ) Syekh Hajui Abdul Ghorib meninggal dunia dan jasadnya di makamkan di sebuah gunung Kampung Pesantren yang sekarang nama atau sebutan kampung tersebut yaitu Kampung Cibeas.

Setelah beliau wafat, makamnya banyak dikunjungi oleh para peziarah yang berasal dari daerah atau luar kota Tasikmalaya, bahkan luar Provinsi Jawa Barat, seperti daerah Jawa Tengah ataupun Jawa Timur. (Sekarang dari luar P. Jawa pun pada datang)

Pada bulan Nopember 1946, Presiden RI pertama Ir. Soekarno bersama tamu dari India (PM. Nehru) dan beberapa pejabat Negara pernah berkunjung ke Kampung Cibeas (dalam rangka meninjau kemajuan daerah dan kemajuan pesantren)

Dalam kesempatan itu beliau berziarah ke Makam Syekh H. Abdul Ghorib dan di daerah Kampung Cibeas Presiden mendapatkan Azimat Pusaka peninggalan Syekh Haji Abdul Ghorib berupa keris pusaka dari rumah kuncen Haji Abdurrohman yang istrinya bernama Ny. Hajjah Jubaedah .

H. Penggantian Nama Kampung Pesantren
Setelahnya Syekh Haji Abdul Ghorib meninggal dunia para orang tua pada waktu itu mengadakan musyawarah dan penelitian. Kesimpulan dari hasil musyawarah tersebut, Kampung Pesantren dirubah namanya menjadi Kampung Cibeas. Hal ini dikarenakan didekat bekas pesantren tersebut ada satu sumur tempat mandi dan cuci beras (ngisikan atau ngumbah beas dalam bahasa Sunda) bekas Syekh Haji Abdul Ghorib dan istrinya. Sumur tersebut samapai sekarang masih terus dipergunakan oleh masyarakat setempat.

Dipinggir Kampung Cibeas menurut cerita para orang tua dahulu ada sebuah kali (Sungai), di kali tersebut terdapat sebuah leuwi (pusaran air yang dalam) yang mengeluarkan air berwarna putih seperti air cucuran beras. Kali yang ada di daerah tersebut sampai sekarang terkenal dengan sebutan Kali Cibeas, airnya mengalir ke Kali Cibangbay dan terus mengalir ke kali Ciwulan berakhir di Laut Hindia sebelah selatan dari kota Tasikmalaya.

Sejarah Sunan Sela Cau

Sejarah Sunan Sela Cau di Tasikmalaya
Dalam rangka menggali cerita tentang sejarah “Sunan Sela Cau” dan atas terdorongnya keinginan luhur untuk mengungkapkan situ-situs sunan sela cau. Untuk memperluas pengembangan pembangunan yang ada di Wilayah Tasikmalaya bagian Selatan khususnya, dan pengembangan pariwisata dan pengembangan wilayah untuk kesejahteraan masyarakat di era etonomi daerah kecamatan Parungpoteng dalam penggalian subsektor pariwisata, selain itu pula untuk menggali yang dianggap sejarah dimasa lampau sehingga, tidak ketinggalan bagi pewaris generasi muda untuk mengetahui perjalanan dan perjuangan “Sunan Sela Cau” dengan Maksud dan tujuan Untuk menambah pengetahuan dalam bidang terungkapnya keberadaan “Sunan Sela Cau” sehingga diharapkan baik perjuangan maupun perjalanan dan peninggalan terungkapnya, sehingga ada manfaatnya baik untuk keturunan maupun generasi berikutnya.
ASAL MULA PB CIMUKEYE CIBUNGUR
Menurut nara sumber yang dapat dipercaya, asal mula PB (CIMUKEYE) diambil dari kata “Pengecut Bungur”, asal mula Pengecut Bungur yaitu : bahwa di zaman dulu kala, orang-orang yang perjalanan selalu singgah atau istirahat dibawah pohon bungur yang di atas bukit yang sekarang ini letaknya dipertigaan jalan yang ada di pencut bungur tersebut. Sehingga semua orang-orang dahulu yang singgah disana sepakat untuk memberi nama terhadap tempat itu menjadi Pencut Bungur (PB). Sedangkan asal mula cimukeye yaitu: satu-satunya tempat yang ada sumber air di daerah itu untuk kebutuhan orang-orang yang singgah atau istirahat baik manusia atau hewan, diantaranya hewan peliharaan seperti Sapi, Kerbau, dan hewan lainnya.
Menurut cerita di tempat itu, dulunya pernah dijadikan tempat persinggahan raja padjajaran sebelum memnusatkan istana kerajaan di pakuan bogor, setelah adanya perpecahan kerajaan galuh yang waktu pusat pemerintahannya di Wilayah Ciamis. Itulah cerita asal mula nama P.B CIMUKEYE.
Perjalanan Sunan Sela Cau Dari Mataram Ke Baghdad
Menurut nara sumber, salah satu pangeran dari mataram yang dikenal dengan nama”Embah Gulung Sakti” , diutus ke Baghdad, utuk berguru pada “Syekh Ahmad Hirowwi”, punya anak laki-laki yang sama-sama menimbailmu dengan utusan dari mataram tersebut, dipesantren yang dipimpinnya, Syekh Ahmad Hirowwi mendengarkan kabar bahwa di tanah jawa adalah pudatagama hindu akan tetapi disisi lain Syekh Ahmad Hirowwi, mendengarkan kabar lagi dari tanah jawa, bahwa di tanah jawa banyak pedagang-pedagang keturunan arab yang berdagang di tanah jawa tersebut dengar menyebarluaskan agama islam, yang pada intinya penyebaran Agama Islam di tanah jawa, sudah menyebarluas. Syekh Ahmad Hirowwi merasa bersyukur ketika “Syekh Datul Kahpi” menetap di jawa yang nama aslinya “Syek Idlofi Mahdi” tepatnya pada taun 1420 M. ternyata Syekh Idlofi Mahdi, masih keturunan Baghdad juga, termasuk kerabat beliau yang memilih menetap di tanah jawa yang tepatnya di”Kp.Celanang Gunung Jati. Wilayah gunng jati tersebut adalah wilayang bawahan Singapura dibawah kekuasaan Padjadjaran. Yang sekarang ini menjadi kota Cirebon. Disisi bangga dan rasa syukur Syekh Ahmad Hirowwi mengutus muridnya yang bernama embah Gulung Sakti untuk menimba ilmu kekuala. berpesan “setelah selesai berguru agar langsung ketanah jaea untuk mebantu penyebarluasan Agama Islam. Embah Gulung Sakti setelah mendapat restu, maka berangkatlah kekuala dan menetaplah di sana. Dengan pesatnya pengembangan Si’ar Agama islam di tanah jawa telah sampailah informasinyake Syekh Ahmad Hirowwi, terlebih lagi setelah putra dan putri padjadjaran yaitu: RADEN WALANG SUNGSANG dan RADEN RATU RARANG SANTANG serta RADEN PANAMA RASAS yang bergelar “PRABU SILIWANGI” dan “ NYI MAS SUMBANG LARANG” berguru dan menjadi murid Syekh Idlo Mahdi. Pada waktu itu usia beliau sangatlah muda, disbanding dengan Syekh Idlofi Mahdi. Dengan informasi itu hati Syekh Ahmad Hirowwi sangatlah bahagia.
Dengan diketahui istri Syekh Ahmad Hirowwi, dalam waktu yang lama sekitar tahun 1450 M, beliau dikaruniai 5 anak laki-laki dalam kurun waktu 50 tahun. Pada waktu itu putra-putranya sangat rajin dalam memperdalam Agama Islam, setiap kiayi atau Syekh-syekh yang ada di Baghdad di gurui sama putranya, sehingga pada waktu itu Syekh Ahmad Hirowwi usianya sudah sangat tua.
Pada taun 1510 M beliau menyuruh ke 5 putranya itu, untuk berangkat ketanah jawa dengan diberi amanat untuk memperluas Syi’ar agama islam.
Dalam waktu 35 tahun mereka berkeliling di tanah nusantara termasuk pulau jawa. Dan mereka dalam menjalankan amanat tersebut, setelah selesai tugasnya mereka selalu berguru dimanapun berada, termasuk kepada wali-wali yang 9 (Wali Songo). Sekitar tahun 1522 M. sampailah ke Cirebon yang masa itu kepemimpinannya dipimpin oleh Sunan Gunung Jati, setelah ketemu dengan sunan gunung jati ke lima putra Syekh Ahmad Hirowwi membicarakan suatu hal yang sangat rahasia dengan sunan gunung jati, setelah selesai pembicaraannya dengan Sunan Gunung Jati, kelima putra Syekh Ahmad Hirowwi diutus oleh sunan gunung jati untuk berangkat ke padjadjaran sebagai pasukan inti dengan misi memperluas agama islam dengan merengkut rakyat Padjadjaran agar masuk Agama Islam, dan dijadikannya oleh kelima Syekh ahmad hirowwi tersebut dalam mempersempit ruang gerak raja padjadjaran itu, dan mencari kelemahan Prabu Siliwangi atau Raja Padjadjaran yang pada waktu itu sudah diganti dengan “Raja Kanjeng Prabu Surawisesa”.
Pada waktu itu Sunan Gunung Jati bersama Wali Songo yang lain di antaranya:
* R.Makdum
* R.Rahmat
* R.Maulana Malik Ibrahim
* R.Saripudin
* R.Sarip Hidayatullah
* R.Ainul yakin
* R.Umar Sahid
* R.Assahid
* R.Syekh Jafar Sidik
Para wali sembilan ini sepakat memberi gelar kepada para putra Syekh ahmad hirowwi itu yang berjulukan “Pandawa Lima”. Yang asal mula namanya it dirahasiakan. Nama-nama Pandawa Lima itu diantaranya:
* Raden Patra Kusumah
* Raden Arsa Bangsa
* Raden Sata Taruna
* Raden Patih Dipa Manggala
* Pangeran Bungsu Damiyani
Pandawa Lima ini di tugaskan agar merekut orang-orang padjadjaran agar bisa ditaklukan dan masuk agama islam. Dengan perjuangan yang sangat ulet dan tekun, maka pandawa lima ini dibantu oleh wali songo dan murid-murid pilihan lainnya dalam Agresi rahasia ini. Dalam kurun waktu yang panjangnya sekitar 27 tahun dan perjuangannya itu sangat berhasih, hampir semua keturunan Raja Padjadjaran termasuk dari keluarga putra dan putri raja banyak yang masuk Islam.
Pada taun 1549M/969H, Wali Songo beserta Pandawa Lima ini dan anggota-anggota yang sudah sepenanggungan ini sepakat mendirikan sebuah organisasi yang dinamakan ”Sela Cau” kenapa organisasi itu dinamakan Sela Cau?, karena Pandawa Lima yang anggotanya mempunyani lima yang sangat tinggi, dan Sela Cau di ambil dari ujukan-uukan musuhnya, yaitu ketika pandawa lima dan anggotanya terseret atau terdesak oleh musuh mereka selalu berlinding di kerumunan atau pohon cau sehingga musuh tidak melihat dan, sesuai dengan wilayah tanah pasundan, dari mula dulu sampai sekarang tanah pasundan dipenuhi oleh kebun cau yang ada dimana-mana, dari mulai tanaman rakyat yang pada kebanyakan rakyat itu menanam cau. Kata cau adalah: kata yang diambildari bahasa ”Sunda ” yang berarti ”Pohon Pisang” . dan akhirnya mereka diberi gelar ”Sunan Sela Cau”. Maka gelar sunan sela cau itu abadi, sampai sekarang banyak tokoh atau kiayi yang bertawasul kepada ”Sunan Sela Cau” makanya dalam setiap kejahatan da tasakuran orang-orang selalu menghormatinya atau mendoakan atas jasa-jasanya dan mengharapkan Sari’at, kehormatan atau maunat dari bertawasul kepada ”Sunan Sela Cau” tersebut, yang sangat terkenal kesaktiannya dan tagihannya dalam memperjuangkan syiar agama islam ini.

Monday, January 10, 2011

Tentang Kadipaten Donan

CeritaKadipaten Donan
Jika cerita tentang Kerajaan Nusatembini berasal dari masa Hindu Budha, maka cerita tentang Kadipaten Donan diperkirakan pada periode awal perkembangan Islam di Tanah Jawa. Donan tidak berlokasi di dekat  pantai selatan Cilacap, tetapi di daratan bagian utara, sekarang masuk sekitar Kota Cilacap.
Dalam cerita itu dikatakan bahwa Donan pada mulanya merupakan daerah hutan. Daerah itu mulai dibuka menjadi daerah pemukiman migrasi orang-orang Banyumas. Salah satu kelompok pendatang adalah rombongan Raden Ronggosengoro utusan dari Adipati Mrapat, seorang menantu dari Adipati Wirasaba. Raden Songgosengoro beserta rombongannya akhirnya menetap di wilayah itu. Ia pandai memimpin rakyat dengan mengubah daerah Donan yang semula sepi menjadi pemukiman yang ramai. Ronggosengoro kemudian diangkat menjadi Adipati di Donan oleh Adipati Wirasaba.
Di bawah kepemimpinan Adipati Ronggosengoro daerah Donan secara berangsur-angsur berubah menjadi daerah yang ramai dan makmur. Penduduknya hidup dalam kecukupan, tidak kekurangan sandang maupun pangan. Keamanan terjamin sehingga penduduk tidak merasa cemas tinggal di wilayah Donan.
Kondisi Donan yang aman dan tenteram menjadi terusik ketika ada gangguan makhluk aneh ke wilayah Donan. Gangguan itu berupa seekor burung raksasa yang oleh orang setempat disebutnya sebagai ”Garuda Beri”. Burung raksasa ini konon sering menerkam hewan-hewan milik penduduk Donan. Bahkan juga menerkam manusia yang berusaha mempertahankan binatang kesayangannya yang hendak diterkam oleh si burung  raksasa tersebut. Burung raksasa itu bersarang di Pulau Nusakambangan. Untuk mengatasi persoalan itu sang adipati berusaha mengerahkan segala kekuatan rakyatnya untuk membunuh binatang tersebut, tetapi selalu gagal.
Kegagalan menangkap binatang yang meresahkan masyarakat Donan tersebut mengusik sang adipati untuk mencari cara lain. Berkat petunjuk dari ahli nujumnya yang mengatakan bahwa burung tersebut dapat dimusnahkan dengan pusaka Kesultanan Demak, maka ia menghadap ke Kesultanan Demak untuk meminjam pusaka Demak yang bernama Kyai Tilam Upih. Permintaan sang adipati meminjam pusaka Demak tersebut ternyata dikabulkan oleh Sultan Demak. Sayang sekali setelah pusaka itu berhasil dipinjam, namun tidak seorang pun yang mampu menggunakannya dengan baik  untuk membunuh Garuda Beri.
Oleh karena selalu gagal dalam memusnahkan binatang berbahaya itu, diceritakan bahwa Adipati Donan menggelar sayembara. Dalam sayembara tersebut sang Adipati menjanjikan hadiah putrinya bagi siapapun yang berhasil menangkap dan membunuh Garuda Beri tersebut.
Sayembara itu ternyata menarik perhatian para Adipati Anom di daerah lain. Mereka berdatangan untuk menunjukkan kesaktiannya dalam menangkap binatang berbahaya tersebut. Mereka berharap sekali dapat menangkap binantang itu karena hadiahnya yang cukup menggiurkan, seorang putri yang cantik jelita. Akan tetapi ternyata para adipati tersebut tak satupun yang berhasil menaklukan garuda Beri. Para petarung menjadi takut dan lari terbirit-birit akibat serangan ganas dari binatang siluman tersebut. Sebagian dari mereka mengalami cedera, dan sebagian lagi mengurungkan niatnya mengikuti sayembara.
Dengan kegagalan para Adipati Anom dalam mengikuti sayembara menangkap Garuda Beri, maka sang Adipati Donan menjadi putus harapan. Sang Adipati  selalu merenung untuk mencari cara bagaimana mengalahkan binatang yang meresahkan  rakyat Donan tersebut. Dalam suasana kesedihan tersebut datanglah seorang pemuda dengan wajah yang tampan dan halus perangainya. Pemuda itu adalah seorang perjaka ”Santri Undig” yang disebut pula sebagai Bagus Santri. Di hadapan Sang Adipati Donan, ia menyampaikan niatnya untuk mengabdikan diri di Kadipaten Donan, ia akan bekerja apa saja demi Donan dan akan melaksanakan titah baginda dengan penuh kepatuhan. Sang Adipati yang mendengar permohonan Bagus Snatri tersebut menyatakan tidak keberatan, bahkan menerimanya dengan senang hati dengan syarat ia sanggup membunuh binatang Garuda Beri yang telah meresahkan rakyatnya. Meskipun Bagus Santri mengetahui bahwa syaratnya cukup berat, namun tekadnya yang bulat membuat menerima tawaran Sang Adipati Donan tersebut.
Sesungguhnya Bagus Santri adalah seorang utusan dari Demak. Ia diutus Sultan demak untuk mengambil kembali pusaka Demak yang cukup ampuh, ”Cis Tilam upih” yang sudah lama tidak ada di istana. Dengan diterima menjadi hamba Adipati Donan dan berhasil menangkap Garuda Beri, maka ia berharap pusaka Demak tersebut dapat diambil kembali.
Santri Undig tidak serta merta menangkap Garuda Beri. Untuk sementara waktu ia harus tinggal di Kadipaten Donan untuk mempelajari situasi dan kondisi bahaya tersebut. Setelah beberapa waktu tinggal di Donan, ia menghadap sang Adipati untuk menyampaikan uneg-unegnya. Pertama, sebelum membunuh Garuda Beri, ia terlebih dahulu meminta dibuatkan ”lubang yang dalamnya setinggi manusia”. Kedua, ia  meminta agar disediakan kain kain putih selebar hasta. Ketiga, ia diperkenankan meminjam pusaka Cis Tilam Upih. Kecuali permintaan ketiga, permintaan Bagus Snatri segera dikabulkan oleh sang adipati. Sementara itu permintaan ketiga baru bisa dikabulkan setelah ia berkali-kali meyakinkan sang adipati bahawa burung tersebut baru dapat dibunuh dengan Cis Tilam Upih.
Dengan dikabulkannya semua permintaan, Bagus Santri kemudian mempersiapkan untuk menangkap Garuda Beri. Setelah perlengkapan yang diperlukan tersedia, Bagus Santri mengambil air wudhu dan sholat sembari berdoa agar dikabulkan oleh Allah SWT  dalam melaksanakan tugas berat tersebut. Dengan diniati memberantas kejahatan dan kekejaman, maka Bagus Santri memiliki motivasi yang kuat untuk membunuh Garuda Beri. Setelah bersembahyang dan membaca doa selamat, santri Undig mengenakan kain putih pemberian Adipati Donan. Kain putih itu digunakan untuk membungkus dirinya hingga tidak kelihatan badannya dan membentuk gumpalan putih. Dengan mengenakanpakaian itu, maka tidak tampak manusian jika dipandang dari jarak jauh. Dari  kejauhan lebih mirip sapi dengan kulit putih. Berpakain seperti itu merupakan taktik Bagus Santri agar Garuda Beri yang melihat dari angkasa mengira benda putih yang terlihat adalah sapi dengan begitu garuda Beri akan segera menerkamnya. Dalam posisi seperti itu ia menuju ke tempat terbuka tempat dibangunnya sebuah pondok bertiang tinggi. Tidak jauh dari lokasi itu juga terdapat sebuah lubang setinggi manusia yang digunakan sebagai tempat untuk melawan Garuda Beri.
Peristiwa akan adanya pertarungan antara Bagus Santri dengan burung raksasa mengundang khalayak untuk melihatnya. Mereka melihat akan adanya pertarungan antara Garuda Beri dengan Bagus Santri. Para warga Donan dengan penuh ketegangan menantikan detik-detik terjadinya pertarungan tersebut.
Menunggu kedatangan makhluk aneh, Bgaus Santri bersila di panggok sambil bersemedi seraya memohon pertolongan Tuhan Yang Maha Kuasa agar dapat berhasil menjalankan misi sucinya, menumpas Garuda Beri. Tidak lama kemudian, dari arah selatan (P. Nusakambangan) terlihat bayangan hitam yang terlihat di angkasa. Bayangan itu makin mendekati posisi Bagus Santri. Penduduk yang melihatnya menjadi ketakutan dan bertanya-tanya dalam hati apa yang akan terjadi. Garuda Beri kemungkinan menganggap bahwa gumpalan warna putih itu adalah seekor sapi atau kambing besar yang bisa dimangsa. Garuda Beri beberapa kali mengitari dan mengamati benda putih itu, hingga rupanya ia berkeyakinan bahwa yang dihadapi adalah magsa yang lezat. Dengan sigap Garuda Beri itu kemudian menyambar mangsanya., Bagus Santri yang berbalut kain putih. Sementara itu Bagus Santri sudah siap untuk memberikan perlawanan. Ketika Garuda Beri menukik ke bawah, Bagus Snatri masuk ke dalam lubang tanah yang telah dipersiapkan itu. Ketika cakar Garuda Beri berdiri di atas lubang, Bagus Santri dengan sigap menancapkan pusaka Cis Tilam Upih pada bagian paha dari burung raksasa itu. Burung itu meraung kesakitan dan terbang kembali ke angkasa.
Garuda Beri yang telah mengalami luka di bagian pahanya itu sudah tidak memiliki keseimbangan dalam mengayunkan tubuhnya di angkasa. Binatang itu kemudian hinggap di pohon ketapang yang amat besar di tepian sebuah pantai Cilacap. Pohon raksasa itu tidak mampu menahan beban berat dari tubuh burung raksasa itu hingga rantingnya bengkok hampir menyentuh tanah. Garuda beri hendak terbang kembali, dan kerena tubuhnya telah terluka parah maka ia hanya dapat melayang-layang pada ketinggian yang rendah. Goresan luka akibat tusukan pusaka Demak iyu menyebabkan daya tahan tubuh Garuda Beri menurun tajam dan akhirnya jatuh ke tepian anak sungai yang tidak jauh dari Sungai Donan bagian timur.
Orang percaya bahwa cerita tentang matinya Burung Garuda Beri ini dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa suatu tempat di Cilacap yang dikenal dengan nama ”Grumbul Ketapang Dengklok”. Artinya pemukiman tempat pohon ketapang yang begkok akibat tidak ampu menahan beratnya Burung Garuda Beri yang sedang sakit menjelang ajalnya.
Keberhasilan Bagus Santri membunuh Garuda Beri disambut sukacita di seluruh Kadipaten Donan. Sukacita terlihat sekali diraut wajah sang Adipati yang kemudian menekati Bagus Santri dan memluknya erat-erat. Sementara itu rakyat bersorak-sorai mengelu-elukan kepahlawanan Bagus Santri. Kegembiraan rakyat Donan bisa dipahami karena dengan terbunuhnya garuda Beri, maka rasa mencekam yang mereka rasakan tiap hari telah hilang. Sementara itu Sang Adipati juga merasa telah berhasil menyelamatkan penduduknya dari marabahaya.
Adipati Donan tidak ingkat janji, ia segera menyerahkan putrinya nan cantik jelita kepada Bagus Santri, akan tetapi Bagus Santri tidak segera menerima hadiah putri tersebut. Bagus Santri justru menyerahkan putri tersebut untuk menjadi istri Adipati Bagong, seorang Adipati di Limbangan. Alasan Bagus Santri tidak menerima sang putri karena Bagus Snatri belum berkeinginan menikah dan masih senang berkelana menyebarkan agama Islam.
Bagus Santri yang cukup cerdik tersebut ternyata adalah Sunan Kalijaga. Ia mendapat tugas dari Sultan Demak untuk mencari dan mengambil kembali pusaka Demak Cis Tilam Upih. dengan demikian, cerita tentang peristiwa di Kadipaten Donan tersebut adalah dapat dianggap sebagai masa awal penyebaran Islam di telatah Cilacap.

Sejarah Situ Gede Tasikmalaya

SEJARAH SITU GEDE DAN EYANG PRABUDILAYA

SITU GEDE
1
Purnama bersinar, menerangi alam Sumedang yang tengah lelap tertidur, negeri yang makmur, gemah ripah loh jinawi, kini seolah beristirahat menikmati hasil kerjanya selama sehari penuh, diantara kesunyian malam dan sinar purnama, masih terdengar kentungan dipukul orang, menandakan tidak semua warga terlelap, namun masih ada yang terjaga menjaga lingkungannya.
Namun di halaman belakang komplek istana kerajaan Sumedang, masih terdengar sesuatu yang agak asing ditelinga, lengkingan suara yang agak tertahan namun mantap mengandung tenaga, disertai desingan sesuatu yang membelah udaha, terdengar jelas dimalam yang telah larut itu, cahaya remang obor bambu, melengkapi sinar purnama yang menyinari seorang pemuda tegap tengah memperagakan ilmu kanuragan dengan gesit, cepat mantap dan bertenaga, itulah Prabu Adilaya, Raja Muda Sumedang yang tengah menempuh ujuan terakhir dari ilmu kanuragan yang dipelajarinya, sebagai seorang raja, tentu saja harus memiliki berbagai ilmu untuk menjaga diri dan menjaga masyarakatnya, disamping ilmu kenegaraan, harus pula dipelajari ilmu lain termasuk ilmu kanuragan dan bela diri.
Di bawah pohon yang agak rindang, duduk seorang pria tua berjanggut panjang, mengenakan pakaian serba hitam kepalanya yang berambut putih diikat dengan ikat kepala hitam, kakek ini dengan cermat memperhatikan Sang Prabu yang tengah berlatih, kadang-kadang kepalanya mangut-mangut, atau senyum kepuasan tersungging di bibirnya yang keriput.
“Cukup Raden!” tiba-tiba si Kakek berseru
Prabu Adilaya berhenti, kemudian berbalik menghadap gurunya dengan gerakan menyembah,
“Terimakasih, Eyang Guru”
“Sekarang duduklah, Raden”
Prabu Adilaya, duduk bersila, kedua tanganya berada di atas pangkuannya
“Tenang, Raden”
Kakek yang dipanggil Eyang guru, melugas pedang yang berkilau mengkilap diterpa cahaya bulan, tiba-tiba pedang itu menebas punggung Sang Prabu, terdengar suara sesuatu yang patah dan terlempar, Eyang Guru berdiri tegak, memperhatikan pedang yang ternyata sudah patah terpotong dua, ada senyum puas tersungging dari bibir keriput Eyang Guru, kemudian, dengan langkah ringan menghampiri muridnya yang duduk bersila, tangannya terjulur kedepan, seraya berkata dengan mengulum senyum “ Lulus Raden”
Ketika ayam berkokok dan matahari menyeruak embun pagi, Guru dan murid tengah bercengkrama, di serambi samping istana, disuguhi makanan dan minuman hangat,
“ Raden, semua ilmu yang kumiliki, sudah kuajarkan semua kepadamu, dan Raden sudah menyerapnya dengan baik, namun bagi seorang Raja, kiranya ilmu yang kuajarkan belum cukup, harus disertai dengan ilmu bathin terutama ilmu agama” kata Eyang Guru sambil menatap muridnya”
“Saya pun merasakannya, Eyang, ilmu kanuragan yang Eyang ajarkan masih perlu ditambah dengan ilmu agama, sehingga, dalam menjalankan roda pemerintahan, saya memiliki dasar yang kuat dan dapat bertindak bijaksana”
Prabu Adilaya, menjawab dengan penuh harap,
“Kemana lagi saya harus berguru, Eyang?
Sang Prabu yang muda dan haus ilmu tampak sangat berkeinginan untuk belajar lebih banyak.
“Pergilah ke Mataram, bergurulah kepada KYAI SYEH JIWA RAGA, disana Raden akan mendapatkan ilmu-ilmu bathin dan ilmu agama”
“Terimakasih Eyang guru”
Sang prabu mencium tangan gurunya, orang tua yang sudah berambut putih ini merapatkan kedua tangannya di dada, seraya menghaturkan sembah, dia berkata
“Saya mohon pamit, Raden”
“Silahkan, terimakasih, Eyang”
“Sampurasun”
“Rampes”.
**
Siang itu Prabu Adilaya menjalankan tugasnya sehar-hari sebagai seorang Raja, disaat tertentu selalu terngiang perkataan gurunya, bahwa ilmu yang kini dimilikinya belumlah cukup untuk seorang Raja, namun harus ditambah dengan ilmu bathin terutama ilmu agama, harus ke Mataram untuk mencarinya, seketika sang prabu merasakan kekosongan, ternyata benar kata pepatah, batang padi semakin berisi semakin merunduk, semakin banyak ilmu seseorang, semakin merasakan kekurangan, semakin haus akan ilmu, namun keinginan untuk menuntut ilmu berarti harus meninggalkan Sumedang dan berbulan-bulan di Mataram, sementara tampuk pemerintahan saat ini sang Prabu-lah yang bertanggung jawab. Tetapi kebingunan itu tidak lama, Prabu Adilaya teringat, bahwa selalu ada orang yang mampu memberi jalan keluar dari semua persoalan yaitu ibunya. Sang prabu pun turun dari singgasananya dan berjalan keluar keprabon, melewati taman sari, tibalah ke kaputren tempat ibunya tinggal.
“Saya haturkan sembah, Kang Jeng Ibu”
“Silahkan Raden, Pangeranku, wajahmu tampak murung, utarakanlah pada Ibu, Raden”
Prabu Adilaya manarik nafas dalam-dalam, begitu bijaksana Ibunya sehingga dapat melihat kemurungan diwajah anaknya.
Dengan lemah lembut Prabu Adilaya menyampaikan maksudnya untuk berguru ke Mataram sebagai bekal untuk dapat memerintah secara adil dan bijaksana, disampaikannya pula bahwa menuntut ilmu agama dan ilmu lainya akan memakan waktu berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun sementara kerabuan di Sumedang harus ditinggalkan, tanpa diduga, Sang Ibu terseyum mendengar keluhan putranya,
“Bagi seorang raja, sangatlah perlu memiliki ilmu agama dan ilmu lainnya, ibu bersyukur kepada Yang Maha Kuasa dan bangga ternyata Kangjeng Rama tidak salah pilih menobatkan, sebagai Raja, sudah ada sifat kearifan seorang raja dalam dirimu, keinginanmu untuk menuntut ilmu, merupakan keinginan yang luhur, pergilah anaku, tugasmu sehari-hari akan dilaksanakan oleh adikmu”
Wajah Prabu Adilaya kembali berseri-seri seolah medapat kejatuhan bintang dari langit, sejenak ibunya melanjutkan :
“Bawalah serta istrimu dan pelayanmu yang setia”
Prabu Adilaya pun mohon pamit untuk melakukan persiapan keberangkatannya.


II

Seolah berlomba dengan ayam berkokok, Prabu Adilaya didampingi istrinya Nyai Raden Dewi Kondang Hapa dan sepasang pelayannya Sagolong dan Silihwati berangkat dari tanah Sumedang kearah timur menyongsong matahari pagi, melalui padang terjal berbukit, mengarungi kelebatan hutan, menuruni lembah dan mendaki bukit, banyak malam harus dilewatkan dengan tidur beralas daun kering berkelambu birunya langit, akhirnya sampai jugalah ke Mataram ke tempat dimana Kyai Jiwa Raga bermukim.
Kyai dengan wajah cerah menyambutnya, memberikan tempat yang terbaik bagi sang Prabu dan kedua pelayannya, ketika menyampaikan maksudnya untuk berguru, Kyai dengan senang hati menerimanya sebagai muridnya.
Keinginan sang Prabu yang sangat kuat untuk mempelajari Ilmu Agama menyebabkan dia cepat menyerap ilmu yang diajarkan, banyak kitab kuning yang dapat dihapal dalam waktu singkat, banyak pula kitab-kitab lainnya yang masih harus dibacanya dengan tekun dan ulet, kesungguhannya dalam belajar dan kemampuannya yang luar biasa tidak luput dari perhatian Kyai yang mengajarnya yang selalu terkagum-kagum dengan semangat belajar yang sangat tinggi.
Tak terasa sudah empat purnama berlalu Prabu Adilaya tak sempat banyak berpikir dan berbuat lain, waktu sesaat pun dimanfaatkan untuk menyerap pelajaran yang diberikan oleh Kyai Jiwa Raga, gurunya. banyak hal keduniawian terlupakan termasuk istrinya yang selalu mendampinginya sejak dari Sumedang.
Suatu saat, Kyai Jiwa Raga berbicara kepada muridnya:
“Raden, apa yang saya miliki, sudah saya ajarkan kepadamu, namun mempelajari islam tidak cukup dari satu sumber, Raden harus berguru kepada yang lain”
Prabu Adilaya menganguk-ngangguk seraya berkata :
“Setiap saat saya menemukan persoalan yang harus dipecahkan dengan bantuan ajaran Islam, ijinkan saya untuk menambah ilmu yang Kyai berikan, dan mohon petunjuk harus kepada siapa saya berguru ?.
“Pergilah ke tatar Sukapura, banyak Kyai yang berilmu luhung disana, tetapi sebelum pergi, sudikah Raden membawa putri saya Dewi Cahya Karembong dalam perjalanan Raden” Kyai Jiwa Raga menatap muridnya dengan penuh harap.
“Dengan senang hati Kyai”
“Seandainya Raden berkenan, jadikanlah putri saya sebagai istri raden yang kedua”
Prabu Adilaya agak kaget mendengar perkataan gurunya, sebagai murid dia harus patuh kepada Guru, namun dia sudah beristri dan sampai saat ini terlupakan karena terlalu tekun dalam mempelajari Agama Islam, tetapi ketaatan kepada gurunya, menyebabkan Prabu Adilaya tidak kuasa menolak tawaran itu,
“Baiklah, Kyai, saya akan menjadikan Dewi Cahya Karembong sebagai istri kedua”
“Terimakasih Raden”
Tidak berselang lama, dilakukanlah upacara akad nikah antara Prabu Adilaya dengan Dewi Cahya Karembong, putri Kyai Jiwa raga yang cantik jelita, upacara sederhana yang dihadiri oleh seluruh murid Kyai Jiwa Raga, sekaligus menandai bahwa Prabu Adilaya merupakan murid Kyai Jiwa Raga yang paling pandai, yang dinikahkan dengan putri Kyai, tradisi ini bertahan sampai sekarang, santri yang paling pandai dari sebuah pesantren akan dinikahkan dengan putri ajengan (Kyai).
Keinginan untuk belajar Ilmu Agama Islam Prabu Adilaya tetap membara, sang prabu berpamitan kepada Kyai, untuk melakukan perjalanan ke Tatar Sukapura mencari Guru yang dapat mengajarkan Agama islam lebih dalam dan lebih banyak, Kyai pun memanjatkan do’a untuk keberangkatan menantu dan putrinya yang disertai Raden Dewi Kondang Hapa istri pertama Prabu Adilaya

III

Perjalanan dari Mataram menuju Tatar Sukapura bukanlah perjalanan dekat, hampir sama dengan perjalanan dari tatar Sumedang ke Mataram, kali ini perjalanan lebih menggembirakan karena anggota rombongan bertambah menjadi enam orang dengan hadirnya Dewi Cahya Karembong, sepanjang perjalanan Prabu Adilaya dengan kedua istrinya selalu kelihatan ceria, untuk membuang kejenuhan sepanjang perjalanan Prabu Adilaya selalu bercerita yang disarikannya dari ceritera sempalan Tarich Islam, tentang kebijakan Rosululloh dalam menyebarkan Agama islam, kesederhanaan Rosul, keberaniannya dalam menegakkan agama Islam terutama kebesaran jiwa Rosul dalam menghadapi musuhnya yang belum beragama Islam, apabila malam menjelang mereka beristirahat melepas lelah, tetapi Prabu Adilaya selalu membaca ulang kitab-kitabnya yang diberikan oleh Kyai Jiwa Raga, sampai kedua istrinya tertidur pulas, sang Prabu masih membaca kitabnya dengan teliti, barulah ketika ayam berkokok satu kali, setelah sembahyang tahajud, sang Prabu merebahkan tubuhnya diantara kedua istrinya, ketiganya tertidur berkelambu langit cerah berbintang.
Banyak malam telah dilewati, perjalanan pun semakin jauh, Prabu Adilaya tetap dengan kebiasaannya menekuni kitab-kitab ajaran islam sampai larut malam, kebiasaan suami istri terlupakan begitu saja karena bagi Prabu Adilaya membaca kitab jauh lebih mengasikan, sampai suatu saat, ketika memasuki tatar Galuh, Dewi Cahya Karembong merasakan sesuatu yang hilang dari perannya sebagai seorang istri, ada perasaan mungkin dirinya kurang menarik perhatian suaminya, dibanding Dewi Kondang Hapa istri pertama Prabu Adilaya, perasaan itu mengundang tanda tanya besar dalam diri Dewi Cahya Karembong, sampai suatu saat takala Prabu Adilaya sedang berwudhu dan tidak ada di tengah-tengah kedua istrinya, Dewi Cahya Karembong bertanya kepada Dewi kondang Hapa:
“ Maaf Aceuk*, sejak saya dinikahkan sampai saat ini saya belum pernah melakukan kewajiban saya sebagai seorang istri, kadang-kadang saya merasa disia-siakan dan diabaikan, apakah Aceuk merasakan hal yang sama atau kalau sama Aceuk biasa-biasa saja?”
Dewi Kondang Hapa merenung sejenak, pelan sekali dia menjawab:
“Aceuk pun merasakan hal yang sama, bahkan kalau itu suatu penderitaan, penderitaan Aceuk lebih lama dari yang Nyai rasakan, karena Aceuk menikah sudah hampir setahun ini, tapi belum diperlakukan sebagai istri”
“Sungguhkan ?” Dewi Cahya Karembong terperanjat mendengarnya
“Benar Nyai, sejak menikah Aceuk belum merasakannya” kata Dewi Kondang Hapa datar, seolah kepada dirinya sendiri
“Apakah mungkin kakang Prabu memiliki kelainan……………?”
“Tidak, Nyai, Kakang Prabu seorang laki-laki sejati” Dewi Kondang Hapa menjawab dengan tegas.
Obrolan kedua istri itu terhenti saat Prabu Adilaya menghampirinya, tetapi dalam bahasan yang sama mereka mengobrol pada saat-saat senggang, tetapi semakin lama, semakin mereka rasakan ada ketimpangan dalam kehidupan perkawinan mereka, mereka merasakan kehampaan dan kesepian, padahal suami yang mereka cintai tidur berdampingan tiap malam, mereka juga merasakan jarak yang makin lebar, padahal setiap saat hampir tidak pernah jauh terpisah. Ketika melihat burung berkasihan dalam perjalanan yang mereka lewati merekapun merasakan lebih hina dari seekor burung.
Suatu saat, ketika ada waktu senggang yang cukup panjang, Dewi Kondang Hapa bertanya :
“Aceuk, Kakang Prabu hendak mencari guru baru?”
“Betul, kalau Kakang Prabu bermaksud untuk berguru lagi, berarti kita semakin tersia-siakan”
“Seandainya Kakang Prabu punya Guru baru dan menjadi murid paling pandai, tentu akan dinikahkan dengan putri gurunya lagi” berkata Dewi Cahya Karembong sambil memandang kebiruan langit, seolah hanya untuk didengar oleh dirinya sendiri.
“Mungkin penderitaan kita akan semakin panjang, disamping menunggu kakang Prabu selesai berguru, juga akan ada istri baru”
Dialog kedua istri yang dilanda sepi berlangsung semakin hangat dan panas, secara bertahap munculnya niat yang kurang baik, entah siapa yang memulai, dari niat itu dikembangkan menjadi sebuah rencana, tanpa disadari Dewi Kondang Hapa menbuka buntelan berisi sebuah keris pusaka yang diwariskan dari orang tuanya, demikian pula Dewi Cahya Karembong melakukan hal yang sama.
Malam harinya pada saat Prabu Adilaya mulai merebahkan diri ditengah kedua istrinya dirasakan sangat berat matanya, sebagaimana biasa sebelum tidur, dipanjatkan doa kepada Allah SWT untuk memohon ampunan dan karuania Nya, Sang Prabu memejamkan mata sambil menyungging senyum, beberapa saat kemudian, kedua istrinya terbangun, diambilnya pusaka masing-masing, dihunusnya pusaka itu dan diangkat dengan kedua tangan diatas dada Prabu Adilaya yang tengah tertidur pulas, pada saat yang hampir bersamaan, dengan keras dihujamkan pusaka itu ke dada Prabu Adilaya, tidak ada jeritan atau lenguh kesakitan, hanya terdengar sebutan asma Allah, bersamaan dengan itu, Prabu Adilaya menghembuskan nafasnya yang penghabisan, darah merahpun memancar dari dada Prabu Adilaya membasahi pakaian dan sedikit demi sedikit membasahi tanah dimana tubuh sang Prabu terbujur, tanah sekitar tubuh itu berubah warna menjadi merah, demikian pula air tanah yang keluar sekitar tubuh sang Prabu warnanya kemerahan, sejak saat itu tempat dimana sang prabu dibunuh dinamakan CIBEUREUM ( beureum = merah)
Burung-burung malam seolah berhenti berkicau, langit cerah mendadak mendung, pucuk-pucuk pohon seolah turut bersedih dengan dihilangkannya nyawa seorang pangeran yang sedang menuntut ilmu dibidang keagamaan, tinggalah dua istri yang kebingungan disertai rasa penyesalan yang mendalam,mereka duduk termenung, sementara kedua pelayannya yang setia Sagolong dan Silihwati masih pulas tertidur, dengan bisik-bisik kedua istri itu berembuk untuk mengubur jenazah di tempat yang jauh dan tersembunyi agar tidak ditemukan utusan dari Sumedang.
Akhirnya diputuskan untuk menggotong jenazah yang dimasukan kedalam kain sarung dan digotong dengan sepotong kayu, mereka berangkat kearah barat, sementara kedua pelayannya mengawasi dari kejauhan dengan terheran-heran tanpa bisa bertanya, ketika sampai di tanah datar yang luas., mereka bermaksud untuk mengubur jenazah disana, namun setelah dipikirkan lagi, ternyata ditempat itu akan mudah ditemukan, maka perjalanan pun dilanjutkan menelusuri anak sungai kearah hulu , disuatu tempat kayu yang digunakan untuk menggotong mayat Prabu Adilaya patah, Dewi Cahya Karembong mengambil sebatang kayu pendek dan berusaha menyambung kayu penggotong, tempat bekas menyambung kayu tersebut sampai saat ini dinamakan SAMBONG, perjalanan pun dilanjutkan beberapa kali kayu penggotong patah dan disambung sampai pada suatu saat kedua istri itu merasa bingung karena kayu penggotong ternyata selalu patah sekalipun sudah diganti akhirnya Dewi Kondang hapa mencoba mengganti penggotong yang baru dan melumuri kayu tersebut dengan tanah ternyata kayu tersebut tidak lagi patah, tempat bekas melumuri penggotong dengan tanah tersebut dinamakan MANGKUBUMI (= mengangkat tanah)
Karena belum menemukan tempat yang tepat untuk mengubur jenazah, kedua istri Prabu Adilaya berbelok ke utara, mendaki bukit-bukit kecil akhirnya sampai ke daerah rawa-rawa, dari kejauhan terlihat ada tanah yang tidak digenangi air, mereka menuju kesana, ditempat itu Dewi Cahya Karembong memerintahjkan kedua pelayannya untuk menggali lubang, pada saat kedua pelayan itu menggali, Dewi Kondang Hapa berbisik kepada Dewi Cahya Karembong, bahwa seandainya kedua pelayan itu dibiarkan hidup tentu akan melaporkan kepada Raja Sumedang bahwa Prabu Adilaya dibunuh kedua istrinya, kedua istri sepakat bahwa kedua pelayan itu juga harus dihabisi untuk menjaga rahasiah mereka, maka sebelum lubang kubur selesai digali, kedua pelayan itu, Sagolong dan Silihwati dibunuh, dan mayatnya dikuburkan bersama-sama dengan jenazah Prabu Adilaya.
Sebelum matahari tepat diatas kepala penguburan ketiga jenazah itu telah selesai, mereka meninggalkan makam tanpa nisan itu, ada rasa penyesalan tak terkira pada diri mereka, Dewi Kondang Hapa berkata :
“Seandainya Aceuk kembali ke Sumedang tentu Aceuk akan dihukum, atau setidaknya banyak orang bertanya kemana Prabu Adilaya, kiranya akan lebih baik kalau Aceuk tinggal di daerah ini biar dapat menjaga makam Kakang Prabu”
“Baiklah, Nyai akan pulang ke Mataram, namun apabila ada sebuah padepokan atau pasantren, Nyai akan singgah dan berguru, semoga Allah SWT menerima tobat kita” menjawab Dewi Cahya Karembong dengan linangan air mata.
Kedua bekas istri Prabu Adilaya berpelukan, mereka memilih jalan masing-masing, Dewi Cahya Karembong memilih suatu tempat di Gunung Goong dan meninggal di sana.

IV
Semenjak di tinggalkan oleh Prabu Adilaya Dayeuh Sumedang seolah merasakan sesuatu yang hilang, raja yang bijaksana itu sementara pergi meninggalkan Sumedang untuk berguru, namun banyak purnama telah berlalu dan tahun pun berganti, tidak ada kabar berita, Ibu Suri kerajaan Sumnedang tentu saja merasa cemas dan gelisah, akhirnya diputuskan untuk mengutus putra keduanya untuk menyusulnya ke Mataram.
Singkat cerita, sampailah di mataram, tetapi ternyata yang disusul sudah pergi kea rah Tatar Sukapura, Adik Prabu Adilaya menyusul kearah sana, tetapi karena tidak adanya keterangan mengenai kakaknya, tempat disemayamkan Prabu Adilaya terlewat, karena tempatnya memang agak tersebunyi, sang adik malah sampai kesuatu daerah di pinggir sungai yang ramai oleh orang berlalu lalang, ternyata disana ada sebuah saembara, siapa yang dapat mengalahkan seekor singa dengan tangan kosong akan dinikahkan kepada putri penguasa daerah yang cantik, banyak pemuda ikut serta tetapi tidak mampu mengalahkan singa tersebut, Pangeran Sumedang itu merasa tertarik, akhirnya dia turun ke gelanggang dan bisa mengalahkan singa tersebut sampai luka parah, sampai saat ini tempat itu dinamakan SINGAPARNA (=singa yang luka parah)
Pangeran Sumedang itu mendapatkan putri cantik dan diserahi sebuah daerah untuk dibuka, di daerah itu dibangun sebuah kota yang mirip dengan ibu kota kerajaan dan menamakan daerah itu dengan nama MANGUNREJA. Berbagai kesibukan pangeran Sumedang itu menyebabkan niatnya untuk pulang terlupakan, sehingga Ibunya di Sumedang tetap mengharap kabar baik yang disusul ataupun yang menyusul juga belum kembali, akhirnya diputuskan untuk berangkat sendiri menelusuri jejak Prabu Adilaya.
Sesampainya di Mataram ternyata mengecewakan, Prabu Adilaya bersama istri dan kedua pengawalnya sudah berangkat ke tatar Pasundan, tanpa berpikir panjang Sang Ibu berangkat ke Tatar Pasundan, sepanjang perjalanan apabila melewati malam beliau selalu memohon kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa untuk memperoleh petunjuk dimana kedua anaknya berada, bila siang perjalananpun dilanjutkan, meleati tanah berpasir dan berbukit, akhirnya sampai ke daerah yang berawa-rawa, dari pinggir rawa, sang Ibu melihat sebuah cahaya, akhirnya perjalanan dilanjutkan dengan menyebrangi rawa dan sampai ke sebuah nusa.
Ternyata cahaya tadi bersumber dari gundukan tanah merah, seolah petunjuk bahwa ada sasuatu di sana, Sang Ibu menengadahkan tangan memohon petunjuk Yang Maha Kuasa, dan diperoleh petunjuk bahwa disanalah dikuburkan prabu Adilaya dan kedua pelayannya Sagolong dan Silihwati.
Tangispun tak tertahankan, airmata berurai deras menetes ke tengah gundukan tanah merah, putra sulungnya, pewaris tahta kerajaan Sumedang terkubur di sana. Doa pun dipanjatkan untuk melindungi makam putranya, maka air rawa itu bertambah naik beberapa meter dan makam Prabu Adilaya berada di pulau sebuah danau yang luas, ada bisikan kepada sang Ibu untuk menancapkan tongkat yang selama ini dibawanya, setelah tongkatnya ditancapkan ke tanah, seketika berubah menjadi pohon-pohonan rimbun yang meneduhi makam putranya.
Pada saat akan pulang dan menyebrangi rawa yang sudah berubah menjadi danau, ada empat ekor ikan, sang Ibu menamakan ikan itu dengan nama si Gendam, si Kohkol, si genjreng dan si Layung, dengan tugas untuk menjaga makam dari tangan-tangan jahil yang mengganggunya.
Ketika bermaksud untuk pulang. Sang Ibu bertemu dengan dua orang penduduk setempat, beliau berpesan :
“ mugi aranjeun kersa titip anak kuring di pendem di eta nusa, jenengannana sembah dalem Prabu Adilaya, wangku ka prabonan di sumedang mugi kersa maliara anjeuna dinamian juru kunci ( kuncen ) jeung kami mere beja saha anu hoyong padu beres, nyekar ka anak kami oge anu palay naek pangkat atawa hayang boga gawe kadinya, agungna Allah cukang lantaranana sugan ti dinya.”

Semoga kalian bersedia untuk dititipi anak saya yang dimakamkan di pulau itu, namanya Sembah Dalem Prabu Adilaya, yang memegang tampu ke prabuan di Sumedang semoga kalian bersedia untuk memeliharanya, dan saya memberitahukan kepada siapapun yang berselisih ingin beres, atau naik pangkat juga ingin punya pekerjaan silahkan nyekar ke sana, agungnya kepada Allah SWT semoga sareatnya dari sana”
Setelah itu beliau pulang ke Sumedang.

Sejarah Panjalu

SEJARAH PANJALU

Panjalu berasal dari kata jalu (bhs. Sunda) yang berarti jantan, jago, maskulin, yang didahului dengan awalan pa (n). Kata panjalu berkonotasi dengan kata-kata: jagoan, jawara, pendekar, warrior (bhs. Inggeris: petarung, ahli olah perang), dan knight (bhs. Inggeris: kesatria, perwira).
Nama Panjalu mulai dikenal ketika wilayah itu berada dibawah pemerintahan Prabu Sanghyang Ranggagumilang; sebelumnya kawasan Panjalu lebih dikenal dengan sebutan Kabuyutan Sawal atau Kabuyutan Gunung Sawal. Istilah Kabuyutan identik dengan daerah Kabataraan yaitu daerah yang memiliki kewenangan keagamaan (Hindu) seperti Kabuyutan Galunggung atau Kabataraan Galunggung.
Kabuyutan adalah suatu tempat atau kawasan yang dianggap suci dan biasanya terletak di lokasi yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, biasanya di bekas daerah Kabuyutan juga ditemukan situs-situs megalitik (batu-batuan purba) peninggalan masa pra sejarah.

Kekuasaan Kabataraan (Tahta Suci)

Pendiri kerajaan Panjalu adalah Batara Tesnajati yang petilasannya terdapat di Karantenan Gunung Sawal. Mengingat gelar Batara yang disandangnya, maka kemungkinan besar pada awal berdirinya Panjalu adalah suatu daerah Kabataraan sama halnya dengan Kabataraan Galunggung yang didirikan oleh Batara Semplak Waja putera dari Sang Wretikandayun (670-702), pendiri Kerajaan Galuh.
Daerah Kabataraan adalah tahta suci yang lebih menitikberatkan pada bidang keagamaan atau spiritual, dengan demikian seorang Batara selain berperan sebagai Raja juga berperan sebagai Brahmana atau Resiguru. Seorang Batara di Kemaharajaan Sunda mempunyai kedudukan yang sangat penting karena ia mempunyai satu kekuasaan istimewa yaitu kekuasaan untuk mengabhiseka atau mentahbiskan atau menginisiasi penobatan seorang Maharaja yang naik tahta Sunda.
Menurut sumber sejarah Kerajaan Galunggung, para Batara yang pernah bertahta di Galunggung adalah Batara Semplak Waja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang. Berdasarkan keterangan Prasasti Geger Hanjuang, Batari Hyang dinobatkan sebagai penguasa Galunggung pada tanggal 21 Agustus 1111 M atau 13 Bhadrapada 1033 Caka. Kabataraan Galunggung adalah cikal bakal Kerajaan Galunggung yang dikemudian hari menjadi Kabupaten Sukapura (Tasikmalaya).
Besar kemungkinan setelah berakhirnya periode kabataraan di Galunggung itu kekuasaan kabataraan di Kemaharajaan Sunda dipegang oleh Batara Tesnajati dari Karantenan Gunung Sawal Panjalu. Adapun para batara yang pernah bertahta di Karantenan Gunung Sawal adalah Batara Tesnajati, Batara Layah dan Batara Karimun Putih. Pada masa kekuasaan Prabu Sanghyang Rangagumilang, putera Batara Karimun Putih, Panjalu berubah dari kabataraan menjadi sebuah daerah kerajaan.
Diperkirakan kekuasaan kabataraan Sunda kala itu dilanjutkan oleh Prabu Guru Aji Putih di Gunung Tembong Agung, Prabu Guru Aji Putih adalah seorang tokoh yang menjadi perintis Kerajaan Sumedan Larang. Prabu Guru Aji Putih digantikan oleh puteranya yang bernama Prabu Resi Tajimalela, menurut sumber sejarah Sumedang Larang, Prabu Resi Tajimalela hidup sejaman dengan Maharaja Sunda yang bernama Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Prabu Resi Tajimalela digantikan oleh puteranya yang bernama Prabu Resi Lembu Agung, kemudian Prabu Resi Lembu Agung digantikan oleh adiknya yang bernama Prabu Gajah Agung yang berkedudukan di Ciguling. Dibawah pemerintahan Prabu Gajah Agung, Sumedang Larang bertransisi dari daerah kabataraan menjadi kerajaan.
Kekuasaan kabataraan kemudian dilanjutkan oleh Batara Gunung Picung yang menjadi cikal bakal Kerajaan Talaga (Majalengka). Batara Gunung Picung adalah putera Suryadewata, sedangkan Suryadewata adalah putera bungsu dari Maharaja Sunda yang bernama Ajiguna Linggawisesa (1333-1340), Batara Gunung Picung digantikan oleh puteranya yang bernama Pandita Prabu Darmasuci, sedangkan Pandita Prabu Darmasuci kemudian digantikan oleh puteranya yang bernama Begawan Garasiang. Begawan Garasiang digantikan oleh adiknya sebagai Raja Talaga yang bernama Sunan Talaga Manggung dan sejak itu Talaga menjadi sebuah kerajaan.

Hubungan dengan Kemaharajaan SundaPanjalu adalah salah satu kerajaan daerah yang termasuk dalam kekuasaan Kemaharajaan Sunda karena wilayah Kemaharajaan Sunda sejak masa Sanjaya Sang Harisdarma(723-732) sampai dengan Sri Baduga Maharaja (1482-1521) adalah seluruh Jawa Barat termasuk Provinsi Banten dan DKI Jakarta serta bagian barat Provinsi Jawa Tengah, yaitu mulai dari Ujung Kulon di sebelah barat sampai ke Sungai Cipamali (Kali Brebes) dan Sungai Ciserayu (Kali Serayu) di sebelah timur.

Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kemaharajaan Sunda juga mencakup Provinsi Lampung sekarang sebagai akibat dari pernikahan antar penguasa daerah itu, salah satunya adalah Niskala Wastu Kancana (1371-1475) yang menikahi Rara Sarkati puteri penguasa Lampung, dan dari pernikahan itu melahirkan Sang Haliwungan yang naik tahta Pakwan (Sunda) sebagai Prabu Susuktunggal (1475-1482), sedangkan dari Mayangsari puteri sulung Hyang Bunisora (1357-1371), Niskala Watu Kancana berputera Ningrat Kancana yang naik tahta Kawali (Galuh) sebagai Prabu Dewa Niskala (1475-1482).
Lokasi Kerajaan Panjalu yang berbatasan langsung dengan Kawali dan Galuh juga menunjukkan keterkaitan yang erat dengan Kemaharajaan Sunda karena menurut Ekadjati (93:75) ada empat -kawasan yang pernah menjadi ibukota Sunda yaitu: Galuh, Parahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran.
Kerajaan-kerajaan lain yang menjadi bagian dari Kemaharajaan Sunda adalah: Cirebon Larang, Cirebon Girang, Sindangbarang, Sukapura, Kidanglamatan, Galuh, Astuna Tajeknasing, Sumedang Larang, Ujung Muhara, Ajong Kidul, Kamuning Gading, Pancakaki, Tanjung Singguru, Nusa Kalapa, Banten Girang dan Ujung Kulon (Hageman,1967:209). Selain itu Sunda juga memiliki daerah-daerah pelabuhan yang dikepalai oleh seorang Syahbandar yaitu Bantam (Banten), Pontang (Puntang), Chegujde (Cigede), Tanggerang, Kalapa, dan Chimanuk (Cimanuk) (Armando Cortesao, 1944:196).
Kaitan lain yang menarik antara Kemaharajaan Sunda dengan Kerajaan Panjalu adalah bahwa berdasarkan catatan sejarah Sunda, Hyang Bunisora digantikan oleh keponakan sekaligus menantunya yaitu Niskala Wastu Kancana yang setelah mangkat dipusarakan di Nusa Larang, sementara menurut Babad Panjalu tokoh yang dipusarakan di Nusa Larang adalah Prabu Rahyang Kancana putera dari Prabu Sanghyang Borosngora.
Sementara itu sumber lain dari luar mengenai kaitan Panjalu dengan Sunda yakni dari Wawacan Sajarah Galuh memapaparkan bahwa setelah runtuhnya Pajajaran, maka putera-puteri raja dan rakyat Pajajaran itu melarikan diri ke Panjalu, Kawali, dan Kuningan.

Sejarah Tatar Parahiangan

Sejarah Tatar Parahyangan

       Periode awal sampai Taruma Nagara.
Konon menurut wangsakerta pertama di tanah jawa adalah Salaka Nagara atau Rajatapura(Negri Perak),dengan pendiri aki Tirem(=argre : ptolemy),letaknya di teluk lada pandeglang sekitar tahun 150 M,Pemerintahan Salaka Nagara di pimpìn oleh raja-raja yang bergelar Dewawarman,tercatat bahwa gelar Dewawarman di turunkan selama 8 generasi(Dewawarman I-VIII).diperkirakan kejayaannya sampai tahun 362 M.selanjutnya penguasaan wilayah jawa(bag Barat)dilanjutkan oleh Taruma Nagara Salaka Nagara pun menjadi kerajaan kecil.Kerajaan Taruma Nagara tercatat dimulai sejak tahun 358 M,dengan raja pertama bernama Jayasingawarman,Jayasingawarman berasal dari Negri Salankayana di India,ia melarikan diri dari Negrinya yang diserang oleh raja Samudragupta dari kerajaan Magada,dia juga merupakan menantu Dewawarman VIII.pada pemerintahan raja Taruma nagara yang ke-3,cucu Jayasingawarman yaitu purnawarman(395-434 M),ibukota kerajaan di pindah ke kota baru dengan nama Suna Pura(kota suci)di sekitar sungai ciaruteun.inilah catatan sejarah pertama mengenai awal di gunakannya kata Sunda.Beliau juga merintahkan penggalian sungai gomati dan chandrabaga(bhagasasi/bekasi)sepanjang 6.114 tumbak(11km),selanjutnya pada masa suryawarman(535-561 M)yang merupakan cucu purnawarman,kekuasaan Taruma Nagara dilebarkan sampai kesebelah timur.untu dalam tahun 526 M,manikmaya,menantu suryawarman dari tirta kancana,di berikan kekuasaan untuk mendirikan kerajaan baru di kendan,sekarang terletak didærah nagreg(terletak antara bandung/garut),yang pada masa selanjutnya,cicit manikmaya yang bernama wretikandayun(612)memindahkan ibukota kendan ke kota baru yang bernama galuh(permata).Kota tersebut di apit 2 sungai yaitu citanduy dan cimuntur,kota tersebut sekarang bernama Desa Kamulyaan di ciamis,cerita terus berlanjut dan raja-raja terus silih berganti sampai dengan raja terakhir Taruma Nagara yaitu linggawarman,ia merupakan raja yang ke-12.Taruma yang memerintah sekitar 669 M,dalam penguasaan Taruma telah terdapat 48 kerajaan bawahan diantaranya adalah Sala Nagara,Galuh,Kendan,serta Sunda Sambawa.dikarenakan tidak mempunyai anak laki-laki maka kekuasaan linggawarman diturunkan kepada menantu pertamanya Tarus Bawa.sebenarnya dia memiliki 2 anak perempuan yang bernama manasih dan sobakancana,manasih menikah dengan Tarus Bawa pewaris kerajaan Sunda Sambawa,dan sobakancana menikah dengan Rapuntahyang Sri Jayanasa pendiri kerajaan Sriwijaya.Pada masa pemerintahan Tarus Bawa terjadi perselisihan antara 2 menantu linggawarman,akibat perselisihan ini Jayanasa/Sriwijaya menyerang Tarus Bawa/Taruma Nagara(wangsakerta),akibat serangan itu Taruma melemah sehingga Tarus Bawa kembali ke kerajaan asalnya Sunda Sambawa dengan membawa kekuasaan Taruma.Selanjutnya Tarua dia ubah menjadi Kerajaan Sunda.Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa raja Sunda pertama(sebagai kerajaan besar)adalah Tarus Bawa,penggantian nama Taruma menjadi Suna dijadikan momen oleh galuh/wretikandayun untuk menyatakan lepas dari Sunda/Taruma(670).Dengan alasan merasa sederajat dengan kerajaan Sunda(sama-sama kerajaan bawahan Taruma).
Wretikandayun cicit manikmaya,mengklaim wilayah kekuasaan Taruma sebelah timur dari kali cipamali sampai citarum,saat itu wretikandayun sudah berumur 78 tahun,sehingga dia sudah mengenal betul kondisi potitik Taruma,klain galuh tersebut berlangsung mulus,karena Tarus Bawa menghindari terjadinya peperangan,bahkan saat itu Tarus Bawa merupakan sahabat bratasena anak dari wretikandayun.Sehingga itulah akhir dari cerita Taruma Nagara yang melemah dan menjadi 2 kerajaan dengan sungai citarum sebagai batas,masa keemasan galuh setelah lepasnya galuh dari sunda.Tarus Bawa masih berkuasa lama diperkirakan berkuasa dari (669-723 M)Dia digantikan cucu menantunya yang bernama Rakean Jamri atau lebih dikenal dengan prbu Sanjaya Harisdharma.Adapun sang putra mahkota (anak Tarus Bawa)meninggal sebelum dinobatkan,menyebabkan Tarus Bawa digantikan oleh cucu perempuannya bernama Tejakancana yang bersuamikan Sanjaya ini.Sanjaya sendiri merupakan anak sanaha adik perempuan bratasena raja galuh saat itu,sementara itu digaluh,diceritakan bahwa wretikandayun yang bergelar maharaja suradharma jaya prakosa setidaknya memiliki 3 anak dari pohaci bunga mangle(manawati)yaitu;sempak waja(jatmika),jantaka dan mandiminyak(amara),Diantara anaknya yang menggantikan dirinya adalah anak bungsunya yang bernama mandiminyak.Dikarenakan anak tertuanya bernama sempak waja dan anak keduanya jantaka dianggap cacat jasmani selanjutnya mandiminyak digantikan oleh anak dari rababu yang bernama bratasena(sena)sebenarnya permesuari mandiminyak adalah dewi parwati yang menurunkan sanaha,dewi parwati adlah anak dari dewi maharani shima dari kerajaan kalingga(sebelum mataram kuno),namun kekuasaan sena tak berlangsung lama,ia di gulingkan oleh sepupunya,anak dari sempak waja yang bernama purbasora saat itu di bantu oleh raja indra prahasta dari sekitar dærah cirebon.

Saturday, January 8, 2011

Situs Kuta Tandingan

SITUS KUTA TANDINGAN
 
Situs Kuta Tandingan diperkirakan merupakan meninggalan Kerajaan kecil dalam Kekuasaan Kerajaan Pajajaran, yang bernama Kerajaan Kuta Tandingan Jaya yang diperintah oleh Patih Panatayuda, dibantu oleh Patih Purnakuta dan Patih Mangkubumi dengan penasehat Pamanah Rasa dan Jaksa Imbang Kencana.
Menjelang keruntuhan Pajajaran Kerajaan Kuta Tandingan Jaya melepaskan diri atau diambil alih oleh tentara Kesultanan Banten yang dipimpin oleh Syech Maulana Yusuf, sebab pada tahun 1626 daerah Udug - udug dijadikan Markas Tentara Kesultanan Banten dibawah pimipinan Pager Gunung atau lebih dikenal dengan Pangeran Puger, daerah Udug - udug merupakan tempat yang strategis untuk pengawasan lalu lintas perahu di Sungan Citarum, dari daerah ini Pasukan Tentara Kesulatanan Banten menyerang Sumedang Larang juga merupakan Pos Pertahanan untuk menangkal serangan balik dari Sumedang Larang dan Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Sultan Agung. Di daerah ini Banyak ditemukan goa - goa Vertikal atau biasa disebut Luweng, yang belum dijamah ataupun diteliti kedalamannya. Lokasi SItus Kuta Tandingan terletak di  Desa Mulyasejati, Kecamatan Ciampel 38 km dari Ibu Kota Kabupaten Karawang.

Situs Cibuaya

Situs Cibuaya

 Situs Cibuaya adalah Situs peninggalan Megalitikum, ini terbukti dengan adanya Batu Lingga yang berdiri tegak diatas susunan batu bata besar berukuran 9 x 9 m, Masyarakat setempat menyebutnya Lemah Duhur Lanang (laki-laki). Sedangkan Yoni yang tersisa hanya Fondasinya saja yang berukuran 6 x 6 m, dan Masyarakat setempat menyebutnya Lemah Duhur Wadon (perempuan).

Dari Situs ini pada Tahun 1952 ditemukan Arca Wisnu bergaya Pala India, diperkirakan dibuat pada Abad 7-8 M dinamakan Arca Wisnu Cibuaya I, Tahun 1972
ditemukan lagi Arca Wisnu dengan motif yang sama namun diperkirakan dari Abad ke 8-10 M dinamakan Arca Wisnu Cibuaya II, dan pada Tahun 1975 ditemukan lagi Arca Wisnu Cibuaya III, kini ke 3 Arca tersebut disimpan di Musium Nasional Jakarta.
Situs Percandian Cibuaya merupakan komplek beberapa bangunan dan tinggalan purbakala di Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat (koordinat 107°21'25" BT dan 6°5'56" LS) dan secara geografis terletak di daerah Ujung Karawang, berjarak sekitar 6 km dari garis pantai utara Jawa. Daerah ini relatif termasuk dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 6 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar dataran Cibuaya dimanfaatkan oleh penduduk sebagai lahan pertanian sawah basah dengan teknik irigasi.

Penemuan arca Wisnu dari Desa Cibuaya pada sekitar tahun 1951 (Wisnu 1) dan 1957 (Wisnu 2), serta tahun 1977 (Wisnu 3) merupakan awal ditemukannya Situs Cibuaya. Dengan ditemukannya arca para arkeolog berasumsi tentang adanya bangunan suci dan juga sisa pemukiman masyarakat pendukung bangunan suci tersebut. Laporan penduduk setempat menyatakan adanya suatu gundukan besar yang dianggap angker dan disebut "Lemah Duhur Lanang", yang letaknya tidak jauh dari lokasi penemuan arca Wisnu 1. Lemah duhur ("tanah tinggi") ini ternyata adalah sisa-sisa bangunan yang telah runtuh. Hingga tahun 1993, runtuhan bangunan yang terdapat di Situs Cibuaya seluruhnya berjumlah tujuh buah yang terdapat pada Sektor CBY 1 sampai CBY 6. Dua runtuhan di antaranya terdapat pada Sektor CBY 5 dengan posisi yang saling bersebelahan.

Dari seluruh bangunan candi yang ditemukan di Situs Cibuaya yang paling menarik adalah bangunan candi di Lemah Duhur Lanang. Bangunan yang dibuat dari bata ini berdenah hampir bujursangkar dengan ukuran 9 × 9,6 meter dan tinggi dua meter, menghadap ke arah barat laut dengan tangga berukuran lebar 2,2 meter. Bagian fondasinya dibuat dari pecahan bata yang bercampur dengan kerikil dan batu kali. Di bagian puncak runtuhan bangunan Lemah Duhur Lanang terdapat sebuah lingga yang masih berdiri in-situ. Lingga ini berukuran tinggi 111 cm dan bergaris tengah 40 cm. Bentuk lingganya sendiri bukan merupakan bentuk lingga yang sempurna (lingga semu) karena tidak memiliki bagian yang berdenah segi delapan (wisnubhaga). Bagian yang ada hanya yang berdenah persegi ("brahmabhaga") dan bundar ("rudrabhaga"). Dengan ditemukannya lingga dalam konteksnya dengan bangunan suci dan arca Wisnu yang ditemukan di dekatnya, dapat disimpulkan bahwa bangunan Lemah Duhur Lanang adalah bangunan suci untuk pemeluk agama Hindu.

Bangunan-bangunan lain yang ditemukan di Situs Cibuaya ukurannya lebih kecil, separuh dari ukuran bangunan Lemah Duhur Lanang. Bangunan tersebut adalah CBY 2 dengan ukuran 3,5 × 3,5 meter; CBY 5 dengan ukuran 3,4 × 4,5 meter dan 4,4 × 4,8 meter. Bangunan-bangunan lain telah rusak dan tidak diketahui bentuk dan ukurannya.

Lokasi Situs Cibuaya I terletak di Desa Cibuaya, Kecamatan Pedes 30 km dari Ibu Kota Kabupaten Karawang

Situs Batu Jaya

sejarah situs batu jaya


Menelusurii saluran irigasi dari sungai Citarum kita bisa menatap sepanjang mata memandang persawahan yang mulai menghijau dengan para petani yang sedang bercocok tanam diiringi kepak sayap burung belibis, bangau serta celoteh bebek yang sedang mencari makan. Pesona Jawa Mengajak teman teman untuk untuk menelusuri jejak peninggalan. situs Batu Jaya komplek candi Buddhistik di pesisir utara Karawang. Kita bisa menyaksikan proses ekskavasi dimana candi yang semula berada di bawah tanah mulai di bersihkan dan di rekontruksi kembali layaknya arkeolog.

Sekilas tentang situs batu Jaya

Situs Batujaya secara administratif terletak di dua wilayah desa, yaitu Desa Segaran, Kecamatan Batujaya dan Desa Telagajaya, Kecamatan Pakisjaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Luas situs Batujaya ini diperkirakan sekitar lima km2. Situs ini terletak di tengah-tengah daerah persawahan dan sebagian di dekat permukiman penduduk dan tidak berada jauh dari garis pantai utara Jawa Barat (pantai Ujung Karawang). Batujaya kurang lebih terletak enam kilometer dari pesisir utara dan sekitar 500 meter di utara Ci Tarum. Keberadaan sungai ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keadaan situs sekarang karen tanah di daerah ini tidak pernah kering sepanjang tahun, baik pada musim kemarau atau pun pada musim hujan.

Situs Batujaya pertama kali diteliti oleh tim arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang disebut Fakultas Ilmu Budaya UI) pada tahun 1984 berdasarkan laporan adanya penemuan benda-benda purbakala di sekitar gundukan-gundukan tanah di tengah-tengah sawah. Gundukan-gundukan ini oleh penduduk setempat disebut sebagai onur atau unur dan dikeramatkan oleh warga sekitar. Terdapat 17 unur pada lokasi ini, satu diantaranya sudah selesai di ekskavasi yakni Candi Jiwa sedangkan yang dalam tahap ekskavasi hingga artikel ini dibuat dinamakan Candi Blandongan. Unur-unur lain benar-benar masih dalam bentuk gundukan tanah, beberapa diantaranya telah meiliki nama: Serut, Gundul, Damar, Batu Lingga, Lingga dan Lempeng. Kesengajaan membiarkan candi-candi tersebut masih dalam gundukan tanah atau unur, dikarenakan untuk terhindar dari pencurian/perampokan benda-benda cagar budaya oleh masayarakat. Dengan membiarkannya dalam bentuk gundukan tanah, setidaknya akan mempersulit seseorang untuk mengambil benda-benda cagar budaya, karena harus menggali terlebih dahulu.
Selain dalam bentuk candi juga ditemukan pula sebuah sumur tua yang lokasinya tidak jauh dari lokasi Candi Blandongan dan sudah dinaungi cungkup diatasnya. Dibagian lain juga ditemukan sebuah batu pipih besar yang diperkirakan akan dipakai sebagai tempat penulisan prasasasti, namun entah karena faktor apa hingga kini tidak ada satu tulisanpun yang terukir dibatu tersebut. Dugaan yang timbul, mungkin telah terjadi bencana alam atau peperangan, sehingga batu pipih tersebut masih polos dari prasasti/tulisan.

Penanggalan
Berdasarkan analisis radiometri Carbon 14 pada artefak-artefak peninggalan di candi Blandongan, salah satu situs percandian Batujaya, diketahui bahwa kronologi paling tua berasal dari abad ke-2 Masehi dan yang paling muda berasal dari abad ke-12.
Di samping pertanggalan absolut di atas ini, pertanggalan relatif berdasarkan bentuk paleografi tulisan beberapa prasasti yang ditemukan di situs ini dan cara analogi dan tipologi temuan-temuan arkeologi lainnya seperti keramik China, gerabah, votive tablet, lepa (pleister), hiasan dan arca-arca stucco dan bangunan bata banyak membantu.
Misteri
Sebuah cerita misteri ikut mewarnai candi-candi ini. Terdapat peraturan tak tertulis pada lokasi ini bahwa pengunjung dilarang membawa pulang batu-batuan yang merupakan bagian dari badan candi. Terkadang meskipun sudah ada larangan tersebut, masih ada saja pengunjung yang iseng membawa pulang beberapa buah batu untuk dijadikan jimat/penglaris/sarana untuk memajukan usahanya. Namun beberapa hari kemudian pengunjung tersebut kembali lagi kelokasi candi untuk mengembalikan batu yang telah mereka ambil, karena tidak tahan menghadapi "gangguan-gangguan" yang dialaminya. (dari berbagai sumber)

Pernak pernik peninggalan di situs batu jaya


















Situs Kendal Jaya Pedes Karawang

Situs Kendaljaya di Pedes 

Awal Peradaban di Pantai Utara Jawa Barat, Penelitian Arkeologi di Situs Kendaljaya, Pedes, Karawang”
Tinggalan arkeologi di Dusun Kobak Kendal, Desa Kendal Jaya Kecamatan Pedes, Karawang pertama kali disinggung sekitar tahun 60-an. Ketika itu, Sutayasa dalam laporannya yang menyangkut tembikar dari komplek Buni menyebutkannya adanya temuan fragmen tembikar dan kerangka manusia. Di antara kerangka manusia tersebut terdapat fragmen logam (pisau) (Sutayasa,1969: 33). Namun, sayangnya berita dari temuan masyarakat di daerah Kobak Kendal ini, tidak dilanjutkan dengan kegiatan penelitian arkeologi yang intensif sehingga potensi tinggalan arkeologi di daerah tersebut tidak dapat diketahui secara jelas.
Dusun Kobak Kendal kembali menarik perhatian Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional setelah pada awal tahun 2007, sejumlah pemberitaan baik melalui surat kabar maupun media televisi yang menyebutkan adanya temuan benda purbakala, khususnya yang terbuat dari emas di daerah ini. Lokasi yang dimaksud berada di areal persawahan yang berada di Dusun Kobak Kendal, Desa Kendal Jaya, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang. Untuk mencapai lokasi dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat dari Pasar Rengasdengklok mengambil arah Kecamatan Pedes sekitar 10 Km.
Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan awal antara lain; Areal penggalian yang dilakukan merupakan sebuah komplek kubur dari periode prasejarah akhir atau awal masehi. Periode ini lebih dikenal dengan istilah masa protosejarah, yakni masa dimana masyarakat lokal belum mengenal tulisan tetapi daerah ini telah dikenal, didatangi dan dicatat oleh masyarakat internasional serta telah terjadi kontak yang cukup intensif dengan mereka. Kitab Arthasastra dan Sanka Jataka yang diperkirakan berasal dari abad ke-3 sebelum masehi menyebut nama Suvarnabhumi. Kitab Maha Nidesa yang juga berasal dari abad ke-3 sebelum masehi menyebutkan nama tempat seperti Java dan Suvarnabhumi.
Pada masa prasejarah sampai protosejarah, masyarakat Pedes Kuna (red : kuno) merupakan bagian dari komunitas masyarakat yang mengusung budaya komplek tembikar Buni, yakni satu komunitas masyarakat prasejarah yang menghasilkan tembikar dengan pola hias khas Buni, yang hidup di sepanjang pantai utara Jawa Barat mulai dari daerah Banten sampai Cirebon. Hal ini, didasarkan pada temuan sejumlah kerangka manusia yang disertai dengan sejumlah bekal kubur di antaranya yang paling umum adalah wadah tembikar. Wadah tembikar yang paling dominan adalah bentuk wadah berupa periuk kecil (kendil) berdiameter antara 10-15 cm beserta tutupnya, piring dengan bibir tepian tegak, dan mangkuk. Wadah-wadah tembikar ini menurut informasi ada yang berisi manik-manik. Wadah-wadah ini diletakkan di bagian kepala atau bagian kaki dari kerangka. Selain wadah tembikar, biasanya dibekali pula dengan senjata tajam berupa parang, pisau atau tombak. Yang menarik bagi sebagian kerangka diberi perhiasan berupa kalung, cincin, penutup mata dan gelang . Kalung terbuat dari manik-manik emas dan manik-manik kaca. Hal ini menandakan adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat pendukung Tembikar Buni.
Temuan berupa bandul jala, kapak batu, dan tatap pelandas memberi informasi bahwa masyarakat tembikar Buni bermata pencaharian sebagai nelayan, mereka juga telah mengenal bercocok tanam dan sebagian telah memiliki keahlian membuat wadah-wadah tembikar dengan teknologi tatap pelandas. Selain itu, mereka telah memiliki keahlian membuat alat-alat logam dan manik-manik. Pembuatan.
Adanya kontak-kontak dengan dunia luar pada masa protosejarah (mungkin sejak masa prasejarah) diketahui dari sejumlah tinggalan manik-manik. Di Asia Tenggara, perdagangan manik-manik tertua mulai sekitar 400 SM dan Arikamedu telah dikenal sebagai pusat produksi manik-manik yang diekspor ke Asia Tenggara. Arikamedu sebagai pusat penghasil manik-manik ini berlangsung sampai abad ke-3 M, kemudian pusat-pusat produksi tersebut berpindah ke Asia Tenggara seperti Klong Thom (Thailand Selatan) dan Oc-eo (Viernam) dan Mantai (Srilangka).
Selain manik-manik kaca, bahan kaca, manik batu karnelian, Tembikar kasar India juga termasuk temuan yang cukup penting. Tembikar-tembikar ini dibawa oleh para pendatang sebagai alat keperluan sehari-hari dan tidak diperdagangan. Tembikar-tembikar kasar India (Arikamedu) telah diproduksi sekitar akhir abad ke-1 sebelum masehi sampai awal abad ke 1 Masehi atau abad ke 2 M.
Adanya jalur perdagangan India – Asia Tenggara termasuk Nusantara, didukung oleh catatan Clodius Ptolomeaus dari abad ke-2-3 Masehi yang membuat peta perjalanan dengan menyebut beberapa tempat di Indonesia, terutama di dekat Selat Sunda. Sebenarnya jalur perdagangan India- Asia Tenggara merupakan jalur pengembangan dari jalur Mediterania – India. Jalur perdagangan ini menghubungkan sejumlah situs-situs dari masa protosejarah sampai masa sejarah. Terdapat sejumlah situs-situs protosejarah di Indonesia antara lain situs Kota Kapur, Air Sugihan, Karangagung (Palembang), Batujaya, Cibuaya (Jawa Barat), Sembiran (Bali), dan Takalar (Sulawesi Selatan).
Dari kontak-kontak yang cukup intensif inilah, terjadi akulturasi kebudayaan antara masyarakat pendatang (India) dan masyarakat lokal (masyarakat pendukung tembikar buni), yakni diterimanya kebudayaan India ke dalam kebudayaan lokal. Agama Hindu dan Budha tampak tumbuh dan berkembang di masyarakat yang telah memiliki tingkat budaya yang cukup tinggi (Komplek Tembikar Buni). Hal ini ditandai dengan kehadiran tujuh bangunan bata (candi) di daerah Cibuaya. Temuan tiga arca Wisnu berbahan batu hitam merupakan arca-arca yang dibawa langsung dari India karena bahan batu seperti itu hanya ditemukan di India. Berdasarkan ikonografinya arca-arca ini berasal dari sekitar abad ke-7/8 masehi (Ferdinandus,2002: 8). Bangunan-bangunan suci (stupa ) untuk umat Budha hadir sebagai sebuah komplek pemujaan yang cukup lengkap dan luas di daerah Batujaya.

Kontak budaya tersebut selain memberi dampak diterimanya agama Hindu dan Budha pada akhirnya sebuah institusi kerajaan bersifat Hinduistik juga muncul di Jawa Barat pada sekitar abad ke-5-7 Masehi dengan rajanya yang terkenal bernama Purnawarman.
Pada masa yang lebih kemudian, masyarakat pendukung tembikar Buni pun telah melakukan kontak dengan Cina namun dalam kadar yang sangat terbatas. Hal ini didasarkan pada temuan keramik Cina yang sangat jarang. Yang menarik adalah mengapa para pedagang Cina pada masa awal-awal sejarah tidak melakukan kontak dagang di daerah Jawa Barat ? Hal ini amat berbeda jika dibandingkan dengan situs-situs dari masa Sriwijaya seperti situs Kota Kapur dan Air Sugihan, dimana di situs-situs tersebut fragmen keramik Cina cukup dominan ditemukan. Satu-satunya berita Cina yang memberi infomasi tentang wilayah Jawa bagian barat hanyalah disampaikan oleh Fa-hsien dari sekitar tahun 414 Masehi, seorang musafir beragama Buddha yang dalam pelayarannya kembali ke Cina, kapalnya terdampar di Ye-po-ti. Menurut Fa-hsien, di daerah ini banyak ditemukan orang-orang brahmana dan penganut agama kotor sedangkan penganut Budha sangat sedikit sekali dijumpai
Mengingat lokasi situs Pedes yang hanya berjarak 2 km dari situs Cibuaya (abad ke 7/8 M). Besar kemungkinan masyarakat Pedes Kuna juga merupakan pendukung komplek candi di Cibuaya namun hal ini tentu masih terlalu dini untuk dijadikan sebuah pembenaran. Penelitian lebih lanjut yang disertai dengan ekskavasi sebagai cara mengumpulkan data arkeologi secara sistimatis sudah merupakan sebuah keharusan untuk dapat mengungkap eksistensi masyarakat Pedes lebih lanjut.